Friday, December 25, 2015

Antara Mie Ayam dan Bebek Goreng : Indahnya Berbagi

Bertemu dengan teman..mengobrol ngalor ngidul. Lumayan senang dan berbangga hati ketika si teman mengatakan terinspirasi oleh kita. Bahkan mengadopsi apa yang kita lakukan. Ya bagaimana ceritanya?

Temanku bercerita ketimbang membeli soto mending beli kupat sama mendoang...
Alasannya sederhana...beli kupat dan mendoan dengan harga 1 mangkok soto bisa berbagi dengan sesama...nah lo. Taruhlah 1 mangkok soto seharga 8 ribu rupiah..tapi hanya dinikmati sendiri.
Coba diganti dengan mendoan dan kupat...bisa dimakan bareng temen-temen.

Apa enaknya makan yang lezat-lezat dan mahal jika hanya dinikmat sendirian....Ketimbang tinggal di hotel sendirian mending tinggal di kontrakkan tapi banyak teman..

Apa hubungannya antara mie ayam dan bebek goreng.
Ya...salah satu agenda yang rutin dengan teman-teman adalah makan mie ayam. Dalam 1 minggu bisa 3 - 4 bahkan 5 kali..6 kali alias selama hari kerja pernah kali ya..
Kenapa milih mie ayam tidak bakso..soto..pecel lele....ayam goreng/bakar..atao bahkan bebek goreng? Boro-boro juga gulei kambing..sate ayam..sate kambing...wah bablas.

Setidaknya ada beberapa alasan kenapa mie ayam menjadi pilihan.
1. Sebagai alternatif ketimbang makan soto ayam.
Dari dulu-dulu adanya soto ayam, dan baru kemarin-kemarin ada yang jual mie ayam di tempatku kerja.
2. Kalau bakso cenderung lebih mahal dan tidak kenyang.
Hahaha..padahal kalau makan mie ayam ya tetap nambah kupat.  Kalau makan bakso juga tambah kupat plus es campur...tapi ya tambah boros bukan?
Kalo yang jualan mie ayam kebetulan ndak menyediakan es campur..jadinya ndak nambah-nambah anggaran.
3. Pilihan-pilihan yang lain lewat...ya harganya mahal dan agak jauh nyarinya dari tempat kerja.

Tetapi pesan yang bisa disampaikan sebenarnya sederhana. Mending mengeluarkan untuk beli mie ayam tapi bisa bersama-sama ketimbang makan bebek goreng sendirian.
Meski bukan berarti kalau makan mie ayam lebih irit. Sama sekali tidak.
Karena ada harga yang tidak bisa terbayar ketika menghabiskan 17 ribu bahkan sampai ratusan ribu (kalau syukuran apa..gitu) demi mie ayam. 
Seringnya sih 2 - 5 orang makan bareng-bareng. Ya bisa 40 ribu...sudah bisa kan buat beli bebek goreng. 
Tapi ceritanya akan lain...Taruhla punya uang 100 ribu..kalo dibelikan bebek goreng dapat 4 - 5 kali porsi...Kalau dibelikan mie ayam + kupat bisa sampai 8 - 12 porsi. 

Tinggal ngitung saja kan..berapa kali kita makan...dan berapa kali kita bisa berbagi dengan teman-teman.
Dan kenyataannya ketika sudah  terbiasa maka akan lebih banyak mengeluarkan uang buat makan mie ayam bersama-sama. Karena kebersamaan tidak bisa dibayarkan dengan uang yang kita punya..

Salam kebersamaan








Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 6:30 AM

Wednesday, December 23, 2015

Luka dalam Maya

tatkala hati membelah..
hanya duduk diam 
meski jari-jemari bermain-main merangkai kata..
jiwa yang seakan-akan ke sana...
memburu...penuh gairah..
tapi sebenarnya tidak pernah kaki ini melangkah..

untuk mendekati dirimu
hanya berputar-putar dalam bayangan
memainkan jari..menuliskan kata-kata yang sebenarnya tiada arti
...tanpa logika...bikin bingung...penuh tanda tanya

benarkah aku kan ke sana..
atau cukup bermain kata-kata
keinginan  yang yang mendua
membuat luka menggores jiwa

entah apa yang terpikir olehnya
menghadapi diriku yang kehilangan logika
antara kenyataan dan harapan yang begitu jauh

apapun itu..
harus tetap bersyukur...masih bertemu meski dalam alam maya
meski luka ini semakin menganga..
entah bagaimana..bagaimana menghadapinya
jarak yang jauh di satu dunia
terasa dekat di dunia yang berbeda

                                                            20 - 23 Des, Antara Kampung Rambutan - Yogyakarta


Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 6:19 AM

Thursday, October 22, 2015

Pameran Buku bukan Sekedar Dagang Buku : Catatan Frankfurt Book Fair 2015

Pameran Buku bukan Sekedar Dagang Buku : Catatan Frankfurt Book Fair 2015
Pameran Buku bukan Sekedar Dagang Buku, begitu kesimpulan yang bisa diambil dari Frankfurt Book Fair seperti  dikutip dari wawancara dengan Goenawan Muhamad selaku Ketua Komite Pelaksana Tamu Kehormatan Frankfurt Book Fair 2015 di Jerman. Untuk lebih lengkapnya baca harian Suara Merdeka (18/10/2015.

Dalam Frankfurt Book Fair 2015, Indonesia berkesempatan menjadi tamu kehormatan. Suatu prestasi yang membanggakan. Indonesia dalam anggapannya Goenawan Muhamad, sebuah negara yang tidak terlalu dikenal di Eropa. Dikenal pun bukan oleh karya sastra atau prestasi yang lain. Tetapi oleh tsunami Aceh, ekspor asap, tarian-tarian eksotis dan hal-hal lain. Memang kehadiran perwakilan ke sana lebih membawa visi ke Indonesian ketimbang mendengarkan berbagai sindiran/komentar-komentar negatif tentang Indonesia. Tentunya lewat karya-karya sastra yang bermutu tinggi.

Tidak dapat dipungkiri, akan menjadi kebanggaan ketika sebuah karya sastra menjadi laris manis. Apalagi terjual habis bahkan banyak pesanan ketika berada di pameran. Tugas sastrawan adalah menulis buku. Sedangkan mencarikan pasar adalah tugas utama penerbit. Di dalam kanca internasional, apalagi bagaimana sebuah karya diterjemahkan ke banyak bahasa asing. Tapi sekali lagi itu lebih banyak pada urusan penerbit.

Di stan milik Indonesia banyak buku yang mulai atau sudah dilirik oleh penerbit luar. Seperti Esai-esai Goenawan Muhammad (Faith in Writing, Forty Years of Essays) yang telah diterbitkan Ridge Book - Singapora. Manusia Harimau (Eka Kurniawan) dari penerbit Kompas-Gramedia yang sudah diterbitkan dalam bahasa Inggris. Demikian juga Gadis Kretek  (Ratih Kumala) oleh penerbit Jerman, Pulang (Leila S Chudori) dalam bahasa  dan Belanda dan masih banyak lagi. Kalau karyanya Adrea Hirata ya..ndak usah ditanya lagi ya. Kalau karyanya Ahmad Tohari "Ronggeng Dukuh Paruk" ada sudah diterbitkan dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Demikian juga dengan NH Dini tentunya.


Bagaimana dengan pameran buku di Indonesia?
Menyenangkan dan menyedihkan.
Menyenangkan karena dalam pameran tersebut kita dimanjakan dengan berbagai buku..berbagai tema tanpa repot-repot menyusuri berbagai toko. Puluhan..bahkan ratusan penerbit ada di dalam ruang pameran tersebut. Lebih-lebih harga yang ditawarkan cenderung jauh lebih murah ketimbang beli di toko.
Meskipun kadang menjadi pemikiran tersendiri...pameran buku di Indonesia sebenarnya pameran atau sekedar bazar buku. Buku-buku yang tidak laku kemudia dikasih diskon..yang penting bagaimana caranya agar terjual dengan lebih cepat dan lebih banyak.
Padahal yang namanya pameran, ya setidaknya memamerkan produk-produk yang berkualitas. produk-produk yang menjadi unggulan, dalam hal ini unggulan dari penerbit buku.

Ya..lain kali perlu dilihat lagi apakah kegiatan tersebut sebagai pameran atau bazar buku. Kalau memang judulnya bazar buku ya...memang harus lebih murah. Namanya saja bazar. Tetapi kalau namanya Pameran Buku ya setidaknya ada talk show mengenai peluncuran buku..ataupun ada pajangan buku-buku berkualitas. Kualitas loh..bukan harga murah yang jadi acuan.

Ya, itulah hal yang menyedihkan. Berharap menonton pameran buku-buku bagus tapi adanya penerbit/orang yang jualan buku. Bahkan di sela-sela itu ada jualan lain, seperti baju, minyak wangi, mainan anak-anak dan tetek bengek jualan lain.

Ya..dinikmati saja. Antara pameran dan orang mencari rezeki.






Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 9:00 AM

Wednesday, October 21, 2015

Lebih Dekat dengan Chairil Anwar

Siapa yang tidak mengenal Chairil Anwar? Kalau tidak mengenal, malulah kalau mengaku sebagai penyair. Pelajar SMP/SMA saja, kalau tidak mengenal Chairil Anwar itu juga lucu. Yang salah siapa? Guru Bahasa Indonesianya atau dasar anaknya. Itu waktu saya masih SMP di era 90 an. Kalau sekarang entahlah..

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Juli 1922 dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949. Sangat muda ya, 27 tahun hidup di dunia. Suratan takdir, persis dalam sajaknya Sekali berarti setelah itu mati atau Aku mau hidup seribu tahun lagi. Kehidupan yang sebentar jauh lebih bermakna ketimbang hidup lama tetapi tidak bermanfaat. Apa daya ingin hidup yang jauh lebih lama, tapi takdir bicara yang berbeda.

Mengapa Chairil Anwar begitu terkenal? Ada yang mengatakan karena pemberitaan. Atau karena begitu ditonjolkan dalam buku-buku teks bahasa Indonesia. Bagi saya, semangat dalam setiap sajak-sajaknya itu yang membuat menonjol. Pilihan kata-kata yang indah..juga menghujam sanubari.
Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia yang diterbitkan oleh Titian Ilmu 2004, dituliskan Chairil Anwar terkenal karena dua hal.
Lebih dekat dengan Chairil Anwar
Pertama, ia menulis sajak-sajak bermutu tinggi dengan jenis sastra yang menyandang suatu ideologi atau pemikiran besar tertentu seperti perang, revolusi dan sebagainya. Satra yang seperti itu disebut Sastra Mimbar, yaitu jenis sastra yang secara tematis erat hubungannya dengan keadaan  dan persoalan zaman. Misalnya pada karyanya yang berjudul Aku, Catatan Tahun 1946, Perjanjian dengan Bung Karno serta Kerawang Bekasi.
Kedua, ia juga menulis sajak yang menjadi bahan perenungannya yang lahir dari persoalan-persoalan keseharian. Karya jenis ini disebut sebagai Sastra Kamar. Misalnya dalam karyanya Senja di Pelauhan Kecil, Derai-derai Cemara, dan Penghidupan.



Dunia sastra merupakan pilihan hidupnya. Dan dia tidak mau setengah-setengah. Sebagai sastrawan "jalang" ternyata dia selalu menggunakan pakaian yang rapi, baju yang disetrika licin. Kesungguhan dalam menentukan pilihan hidupnya sebagai satrawan lengkap dengan suka dukanya menjadi tauladan bagi kita semua.
Sekali berarti setelah itu mati ...Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Nama Chairil Anwar pun sampai sekarang masih dipakai oleh Dewan Kesenian Jakarta sebagai anugerah kepada sastrawan dan penyair yang disebut Anugrah Sastra Chairil Anwar. Mochtar Lubis dan Sutardji Calzoum Bachri telah berkesempatan menerima anugrah tersebut.

Chairil Anwar... Sang pendobrak dan pelopor Angkatan 45 Kesusastraan Indonesia.
Karya-karyamu akan selalu hidup sampai akhir zaman.

Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 8:16 AM

Tuesday, October 20, 2015

MUNDUR SELANGKAH DEMI KEDAMAIAN

Mundur selangkah demi kedamaian sengaja kujadikan judul untuk tulisan ini. Istilah lainnya adalah mengalah..tidak ingin dianggap menang..tidak ingin mendominasi dll.
Bagi saya hal ini menjadi sangat penting ketika dalam menjalin hubungan dengan pihak lain, terkadang harus bergesekan. Apalagi bertemu rekan/teman yang pada dasarnya punya karakter yang keras.

Tapi mengalah di sini, bukan berarti harus mengorbankan prinsip-prinsip hidup. Seringkali yang kita perdebatkan atau kita ributkan bukanlah hal-hal yang esensial/penting. Tetapi hanya hal yang sepele. Cuma karena ego yang muncul, emosi ikut campur tangan..sesuatu yang sepele tersebut seolah-olah menjadi sangat penting..sangat besar..dan patut untuk diperjuangkan.

Misalnya kita punya kesepakatan bahwa kantor yang ditempati harus dicat. Dicat itu penting..silakan diperdebatkan..apalagi sudah bertahun-tahun tembok dibiarkan begitu saja. Cat sudah memudar. Bercampur dengan lumut-lumut yang mulai menempel.

Tetapi untuk warnanya..mau kuning..pink..hijau muda..hijau tua..biru..merah tua..dan sebagainya. Tidak layaklah harus diperdebatkan sehingga menimbulkan perpecahan. Atau ketika ternyata tembok tersebut dicat warna yang tidak kita sukai...kebetulan hasilnya norak. Tidak perlulah kita olok-olok atau merasa benar..."Coba kalau kemarin dikasih warna pilihanku". Sekali lagi tidak perlulah.

Contoh yang lain. Diputuskan akhir tahun mau mengadakan piknik/refresing. Cukup itu yang diperdebatkan. Refreshing atau tidak. Bolehlah sedikit berdarah-darah. Misalnya bagi yang kontra beralasan..buat apa refreshing mending uangnya buat yang lain. Atau mungkin mengatakan buat apa refreshing, toh setiap saat kita selalu refreshing. Kerja santai. Tanpa ada tekanan. Prestasi kerja juga biasa-biasa saja. Apa yang di-refreshing-kan..dan lain-lain. Tetapi kalau memang sudah disepakati diadakan refreshing tidak perlu lah diributkan. Refreshingnya ke mana? Pakai baju apa? Keluarga boleh ikut atau tidak...Nah pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak perlulah diperdebatkan mati-matian.

Misalnya salah satu teman, misalnya namanya Anto sampai mengatakan, kalau perginya ke Bandung ikut. Kalau ke Yogya ya paling tidak ikut. Atau kalau anak istri tidak boleh ikut..ya saya tidak mau ikut.
Sialnya..pihak yang lain pun berpikiran yang tidak jauh beda..alias ngotot. Tidak mau ikut ya sudah. Kita juga tidak memaksa. Nah mendengar kata-kata tersebut, tentunya  teman kita, si Anto tambah panas.

Legawa..itu kata kuncinya. Mengalah. Untuk menghadapi hal-hal seperti itu ya..harus ada yang mengalah. Entah si Antonya atau teman yang lain. Karena bukan itu yang menjadi masalah. Bukan itu yang harus diributkan.

Dan memang..bukan hal yang mudah untuk mau mundur selangkah demi kedamaian bersama. Bisa karena masalah gengsi...gengsi dianggap kalah bicara..gengsi dianggap tidak berwibawa...gengsi karena pendapatnya tidak diakui dan seambreg kegengsian lain.

Toh ketika ada masalah...orang yang ribut-ribut tersebut cenderung lepas tangan..lepas tanggung jawab. Kita ambil contoh yang pertama, masalah mengecat. Ternyata cat yang dibeli tumpah..akhirnya kurang. Saya yakin kok..tipe-tipe yang meributkan warna paling bisanya bikin ribut...tidak akan mau mencari solusi..kelihatannya mencari solusi tapi ya hanya ingin ribut saja.

Atau menghadapi kejadian kedua, tiba-tiba agen bus yang dipesan melarikan diri. Saja jamin..orang-orang yang tidak legowo..tidak mau mengalah bisanya hanya ribut saja.

Ya..ini hanyalah pengamatan saya..boleh pas..boleh tidak. Yang penting mulai sekarang diniatkan..buat apa kita unggul atau kelihatan menang untuk hal-hal yang tidak esensial...tapi mengorbankan kenyamanan bersama.
Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 4:02 AM

Friday, October 16, 2015

MEMBERI TANPA HARUS MERASA DI ATAS

Memberi tanpa harus di atas kupilih sebagai judul tulisan ini. Ada kalanya kalau kita sudah memberikan sesuatu pada orang lain, kemudian kita merasa lebih posisinya lebih tinggi dari yang kita beri. Inilah awal penyakit bagi orang-orang yang biasa di atas.

Ada yang nyinyir ketika kita memberikan sesuatu barang atau katakanlah uang kepada orang lain yang kurang mampu. Sebenarnya mungkin mampu, tetapi ketika orang tersebut bekerja dengan diri kita dan dia posisi (baca = jabatan) jauh di bawah kita, maka kadangkala ketika ada rezeki yang kita dapatkan dia pun kecipratan. Kok bisa ada yang nyinyir. Yah..karena tindakan kita dianggap tidak mendidik. Memberi ikan bukan kail. Memanjakan dan seabreg lainnya.

Dan celakanya, yang kadang nyinyir tersebut sama-sama punya jabatan yang setara atau kebetulan berada pada posisi yang memberi. Cuma ya itu penyakitnya. Ketika punya rejeki nomplok...entah bonus maupun uang kaget lainnya..memang berbagi rezeki. Yang jadi masalah ketika memberikan sebagian rezekinya, kemudian merasa mempunyai posisi yang lebih tinggi. Merasa punya hak untuk mengendalikan. Atau menjadi suka memerintah..katakan ingin lebih dilayani.

Kalau suka memberi kemudian merasa di atas bukankah bisa menjadi penyakit baru, yaitu kesombongan. Kesombongan karena merasa lebih tinggi. Merasa punya hak terhadap tenaga atau waktu orang yang diberi.

Kalau memberi ya sudah. Kasih sebanyak-banyaknya. Kasihkan apa yang mereka butuhkan..bukan fokus pada apa yang kita inginkan. Misalnya mereka butuh uang. Alih-alih kita menginginkan memberikan barang atau makanan ternyata bukan itu yang dibutuhkan mereka. Tidak bolehlah kita menjadi tinggi hati, lantas mengatakan. "Saya kan pihak pemberi. Terserah kalau saya mau mengasih apa?" Bukankah memberikan sesuatu yang mereka butuhkan akan lebih bermanfaat dan lebih membahagiakan mereka?

Lepas dari pada itu, ketika memberi biarkan tangan kita memang di atasa. Tetapi bukan bertahan di atas, sedangkan yang diberi tangannya di bawah. Apalah artinya pepatah tangan di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Memberi lebih baik dari yang menerima. Tetapi ketika kita berada di atas, mulailah dipikirkan bagaimana agar tangan mereka yang dalam posisi diberi bisa ikut ke atas, bahkan sampai akhirnya bisa sejajar dengan kita.

Saya yakin, mereka pun tidak akan canggung kepada kita. Atau merasa hutang budi. Atau merasa rendah ketika berhadapan dengan kita. Yang di atasa usahakan untuk mau rendah hati turun. Jangan paksakan yang di bawah untuk naik. Kita yang di atas lebih punya kendali. Untuk turun tinggal tanggalkan rasa tinggi hati..rasa memiliki hak mereka..rasa menguasai waktu dan tenaga mereka. Biarkan semua berjalan alamiah.

Berilah dan teruslah memberi tanpa berpikiran bahwa kita berada di pihak yang di atas.


Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 3:15 PM

Monday, June 8, 2015

Tentang Sastra

Tentang Sastra - Wilson Nadeak
Tentang Sastra, sebuah buku tipis yang ditulis oleh Wilson Nadeak berisi kumpulan-kumpulan tulisan lepas yang dibukukan untuk menggugah para pembaca agar mendalami dan mencintai bahasa Indonesia.

Saya sendiri merasa beruntung menemukan buku ini di salah satu toko buku di Purwokerto beberapa waktu lalu. Bagi saya, lumayan sulit menemukan tulisan-tulisan mengenai kebahasaan atau kesusastraan. Jauh lebih mudah menemukan karya-karya sastra seprti kumpulan puisi, cerpen, novel maupun karya-karya yang lain.

Dapat diibaratkan menemukan buku Tentang Sastra ini merupakan anugrah tersendiri agar terus termotivasi untuk banyak menulis, khususnya mengenai bahasa dan sastra Indonesia. Jujur saja, bagi saya ini hal yang cukup berat, untuk terus konsisten menulis dengan tema ini. Tanpa latar belakang pendidikan yang cukup serta dunia kerja yang berbeda menjadi kendala tersendiri tentunya. Hahahha..mulai mengeluh.

Oke..kembali ke buku Tentang Sastra yang ditulis oleh Wilson Nadeak ini. Ada 23 tulisan dalam buku tersebut, di antaranya :
1. Pengarang, kritik dan kritikus
2. Sekelumit Kisah Tentang Chairil Anwar
3. "Kata-katanya" Jean Paul Sartre
4. Pameran Buku, Sekedar Pamerkah?
5. Rendra dan Sajak-Sajak Protes
6. Menulis dengan Gaya Populer
7. Masalah Pembinaan Bahasa Indonesia
Dan judul-judul yang lain tidak kalah menariknya.

Sekilas, saya ambilkan tulisan yang berjudul Pameran Buku, Sekedar Pamerkah? Membaca tulisan ini saya agak tersindir juga karena ketika ada pameran buku  yang dicari bukanlah buku-buku yang bagus baik dari sisi harga maupun kualitas tulisannya. Tetapi lebih banyak memburu buku-buku yang harganya murah, meski kualitas tetap diperhatikan. Fenomena pameran buku yang diidentikan dengan bazar buku, dalam arti di sana buku-buku dijual murah karena sudah tidak laku menjadi perhatian khusus bagi Wilson Nadeak ini. Sebuah pameran mestinya menampilkan sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang bernilai atau sangat berharga. Bukan sekedar menghabiskan buku yang masih menumpuk karena tidak laku.

Semoga saja, ide-ide beliau dapat memberi banyak masukan atau menjadi inspirasi bagi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Selamat membaca buku ini.


Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 12:53 AM

Sunday, March 29, 2015

Penciptaan Arti dalam Puisi Tragedi Winka & Sihka

Sutardji Calzoum Bachri
Sumber gambar  : krisbheda.wordpress.com
Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan dalam bentuk visual tidak mempunyai arti secara linguistik tetapi menimbulkan makna dalam sastra yang dimaksud. Penciptaan arti ini merupakan teks di luar linguistik. Di antaranya adalah pembaitan, enjembement, persajakan (rima), tipografi, dan homologues. Penciptaan arti ini yang akan diterapkan pada puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul "Tragedi Winka & Sihka"

Penciptaan arti ini, dikupas oleh Prof. Dr. Rachmat Djoko Pramono dalam buku Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) sebagaimana dikutip oleh Pramono (2008:124) bahwa puisi dari dulu sampai sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang selalu berubah dari satu periode ke periode selanjutnya. Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, dengan cara lain.

Ketidaklangsungan ekspresi tersebut, disebabkan oleh tiga hal, yaitu karena penggantian arti, penyimpangan arti dan penciptaan arti. Di sinilah kekuatan dari puisi "Tragedi Winka & Sihka", yang mampu menghasilkan penciptaan arti dari bentuk visualnya. Kalau kita menirunya, apakah mungkin karya kita bisa dianggap fenomental dan revolusioner seperti Sutardji

Coba kita perhatikan kembali puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul "Tragedi Winka & Sihka" sebagai berikut.

TRAGEDI WINKA & SIHKA

kawin
    kawin
        kawin
            kawin
                kawin
                     ka
                    win
               ka
            win
           ka
         win
      ka
   win
ka
    winka
        winka
            sihka
               sihka
                  sihka
                        sih
                     ka
                  sih
               ka
            sih
          ka 
       sih
    ka
  sih
ka
   sih
      sih
         sih
            sih
               sih
                  sih
                     ka
                         Ku

Perhatikan baik-baik puisi di atas. Kata-kata yang ada maknanya secara kamus hanyalah kawin dan kasih. Tentunya secara linguistik kata winka dan sihka tidak mempunyai makna apapun. Tetapi tampilan visual dari susunan kata-kata tersebut yang akhirnya menimbulkan makna yang berbeda. Kata kawin yang sampai 5 baris tentu ada maknanya (misalnya perkawinan yang utuh sampai 5 tahun saja). Ketika kata kawin berubah menjadi winka, artinya perkawinan tersebut menjadi berantakan.

Hebatnya, pembalikan kata kawin menjadi winka bisa diterimakan oleh para penikmat sastra bahkan orang awam (khususnya bagi yang pro atau ngefans sama penyairnya). Padahal jelas-jelas di kamus pun tidak ada artinya. Kenapa perkawinan yang yang berantakan tersebut tidak digantikan dengan kata-kata yang lain misalnya selingkuh atau cerai. Ya..kelihatannya malah puisi Tragedi Winka & Sihka ini malah tidak menjadi fenomenal. Alasan  yang sama juga bisa diterapkan dengan penggunaan kata sihka sebagai lawan dari kata kasih (yang tidak menggunakan kata "benci" misalnya).

Demikian juga dengan bentuk hurufnya yang dibuat zig zag. Tentunya ada maknanya tidak menuliskan kata-kata secara lurus baik vertikal maupun horizontal, bentuk lingkaran, bentul elips, bentuk persegi dan seterusnya. Bentuk zig zag bisa diartikan bentuk yang penuh liku-liku, seperti yang dialami orang yang berumah tangga.

Sebagai contoh penciptaan arti karena bentuknya yang homologues bisa ditemukan pada sajak pantun yang berisi baris-baris sejajar. Baris-baris yang sejajar baik bentuk visual maupun bentuk kata-katanya, perjajaran suara menyebabkan timbulnya arti yang sama.
Misalnya :
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian

Bagaimana? Asyik bukan? Ternyata puisi bukan sekedar berisi kata-kata yang bermakna secara linguistik tetapi bisa menghasilkan makna berbeda. Adanya unsur non linguistik ini dalam bentuk visual yang unik dan menarik menjadikan sebuah karya puisi menjadi begitu indah dan memiliki makna yang mendalam.
Siapa mau mencoba?

Sumber bacaan :

Pradopo, Rachmat Joko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka Pelajar.
Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 11:25 PM

Saturday, March 28, 2015

Mengenal Sutardji Calzoum Bachri

 

Sutardji Calzoum Bachri O Amuk KapakSiapa yang tidak mengenal puisi Tragedi Winka & Sihka? Dan tidak puas rasanya kalau kita tidak mengenalnya. Dialah Sutardji Calzoum Bachri, yang diberi gelar “presiden” penyair. Kalau Amir Hamzah dikenal sebagai Raja Penyair Pujangga baru, maka Sutardji dikenal sebagai presiden penyair modern Indonesia.

Sajak-sajak Sutardji dianggap fenomenal dan sekaligus kontroversial. Dalam sajak-sajaknya dia menemukan bahasa pengucapannya sendiri dan sekaligus menciptakan konsep dan pengertian baru tentang bahasa sajak. Karya-karya sajaknya menjadi perdebatan sengit apakah karya-karyanya tersebut layak dianggap sebagai karya sajak, seperti halnya karya sastra.

Dalam sebuah kredo pusisi yang dikukuhkannya pada tanggal 30 Maret 1973 di Bandung, dia menuangkan konsep kepenyairannya sebagai berikut. “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.”

Kalau dibandingkan dengan kursi, maka kata adalah kursi itu sendiri dan bukan sebagai tempat untuk duduk. Dibandingkan dengan pisau, maka kata adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.

Kumpulan sajaknya, Amuk (1977) mendapatkan Hadiah Puisi DKJ 1976/77. Kumpulan sajaknya yang lain : O (1973), Amuk (1979), dan O Amuk Kapak (1981). Sajak-sajak dalam bahasa Inggris dimuat dalam Harry Aveling (ed.), Arjuna in Meditation (Calcuta, 1976).

Kumpulan cerpennya yang telah diterbitkan adalah Hujan Menulis Ayam (2001). Bersama Taufiq Ismail dan Slamet Sukirnanto beliau menjadi editor buku Mimbar Penyair Abad 21 (1996). Sajak-sajaknya juga dimuat dalam antologi yang terbit di luar negeri : Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia), Dichters in Rotterdam (Belanda, 1975), dan Ik Will Nog Duizend Jaar Leven, Negen Moderne Indonesisdie Dichters (Belanda, 1979).

Berbagai penghargaan telah diraihnya, seperti Hadiah Sastra ASEAN tahun 1979. Hadiah seni tahun 1993 dan pada tahun 1998 menerima Anugerah Sastra Chairil Anwar. Sutardji Calzoum Bachri dianggap sebagai pelopor “Angkatan 70”.

Begitulah sekilas mengenai Sutardji Calzoum Bachri yang kukenal lewat puisi Tragedi Winka & Sihka. Semoga bisa memburu karya-karyanya yang lain.

Sumber :

Ensiklopedi Sastra Indonesia. 2004. Bandung : Titian Ilmu

Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 5:25 PM

Thursday, March 26, 2015

Puisi Chairil Anwar : Selamat Tinggal

Chairil Anwar
Sumber : https://rahmatnawisiregar.wordpress.com














SELAMAT TINGGAL

Aku berkaca

Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru menderu
.....dalam hatiku? .....
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah.....................................??

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal .................................!!
Selamat Tinggal ...............................!!

------------------------------------------------------
Selamat Tinggal adalah salah satu puisi karya Chairil Anwar yang tidak bisa kupahami. Di benakku susunan kata-katanya tidak runtut. Bagaimana alur cerita dari puisi tersebut tidak kumengerti.

Saat mengatakan "Aku berkaca" terus diikuti kata-kata "Ini muka penuh luka. Siapa punya?"
Apakah yang dimaksudkan. Lukanya berasal dari mana? Apakah luka karena perang ataukah luka secara psikis. Siapa punya? Ini pertanyaan buat siapa? Ataukah sekedar pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Ataukah dia merasa tidak ada seorang pun yang memilikinya atau berharap akan kehadirannya. Ada nada keputuasaan. Seolah-olah tidak ada orang lain yang punya harapan padanya.

Kudengar seru menderu
.....dalam hatiku? .....
Apa hanya angin lalu?

Bagaimana ceritanya kok dilanjutkan dengan bait-bait seperti ini. Apa hubungannya dengan bait pertama, Kelihatan meloncat-loncat alur ceritanya, Ini setidaknya menurut saya.
Bagaimana mungkin menganggap gemuruhnya hatinya sekedar angin lalu. Apakah yang dimaksudkan, dia mulai gelisah. Gugup. Mulai kehilangan kesadaran.

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Lagu lain apa yang menggelepar di tengah malam buta. Selain kegelisahan yang dirasakannya apakah semakin bertambah dengan hadirnya bunyi-bunyian lain yang entah..dianggap memekakan telinga atau setidaknya membuat dirinya makin gundah. Gelisah, Semakin tidak terkendali.
Sampai akhirnya dia mulai menyerah.

Ah.....................................??

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal .................................!!
Selamat Tinggal ...............................!!

Apanya yang menebal apanya yang mengental. Apakah kesadarannya mulai nyaris hilang. Tidak mampu merasakan apa-apa lagi. Tidak bisa mengenali dirinya sendiri. Tidak bisa mengenali orang lain, Semakin melemah. Merasa sendiri. Sampai akhirnya hanya menyisakan kata-kata 
"Selamat Tinggal...................."
Mudah-mudahan dengan sedikit senyum di bibir.
Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 10:48 PM

Monday, March 2, 2015

Mistik dalam Cerita Pendek

Agus Pribadi atau biasa dipanggil Mas Agus adalah seorang penulis yang sangat telaten. Saat bergabung dengan kompasiana tak kurang 600 tulisannya bertengger di sana, Karya-karyanya banyak yang dimuat di surat kabar lokal maupun nasional.  Seperti Ada Gadis Berkepala Gundul (tabloid minggu Pagi), Sihir Bisa Ular (Suara Merdeka), Perempuan Tua yang Selalu Memandang ke Bawah (Tabloid Cempaka) dan puluhan lain karyanya yang termuat di Satelitpos.

Bagi Mas Agus sendiri, menulis adalah melalui proses yang sangat panjang. Menulis..menulis,,dan menulis saja, Apa saja yang dirasakan yang dipikirkan segera dituliskan. Alhasil, ratusan artikel/cerpen banyak terpampang di berbagai media, baik media cetak maupun di berbagai blog (baik blog keroyokan maupun blog pribadi).

Cerpennya yang berjudul Gadis Penungggu Embun (Serahim Nira, Buku Antologi Pemenang Lomba Cerpen 2012) dan Gadis Jelita dan Seekor Buaya (Note Facebook Agus Pribadi, Pemenang Pertama Event Fiksi Sensual Fiksiana Community, 02 September 2013).  Belum lagi prestasi lain dalam penulisan karya ilmiahnya. Seorang jebolan Biologi bukan hanya menuliskan karya sesuai latar belakang kuliahnya tetapi juga piwai meramu kata-kata menjadi kalimat yang penuh makna.

Memang dalam pengamatan saya, selain aneh, unik dan menggelitik karya-karya beliau kental nuansa mistiknya. Seperti dalam kumpulan cerpen  pertamanya yang diberi judul Gadis Berkepala Gundul. Cerpen berjudul Gadis Penunggu Embun, menjadi pilihan pertama dari buku tersebut. Diceritakan seorang gadis bernama Sulasih, yang tiap hari duduk menunggu di suatu taman kota. Sedangkan tokoh aku (Anton), sebagai seorang laki-laki yang ditinggal mati istrinya padahal baru sebulan menikah. Sulasih, gadis penunggu embun itu  yang akhirnya bisa menggetarkan hatinya. Hubungan keduanya makin dekat. Bagaimana kelanjutannya? Siapa gadis tersebut? Mengapa dia selalu menunggu embun? Ending yang tak terbayangkan.

Judul keduanya yang berjudul Cicak, tentang seorang Ibu yang meyakini salah satu anaknya pergi dari rumah, dianggapnya telah berubah menjadi seekor cicak. Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya jumlah cicak di dinding dan atap kamar anaknya persis bertepatnya anaknya menghilang. Bagaimana kisah cicak tersebut? Ke mana sebenarnya anaknya menghilang? Benarkah cicak tersebut hasil dari "muksa" nya anaknya menjadi misteri dari cerita ini.

Untuk cerpen-cerpen yang lain, baca saja kumpulan cerpen tersebut. Ada Hikayat Sepotong Lidah yang bagi saya "tak tega" membayangkan solusi yang dilakukan oleh tokoh utama. Aneh, takjub. Kok begitu. Tidak adakah solusi yang lain. Atau bagaimana kisah Gadis Berkepala Gundul. Mengapa dia begitu percaya diri dengan gundul di kepalanya. Apa yang menjadi sebab seorang perempuan tua yang selalu memandang kebaya. Dan terakhir cerita mengenai Buaya Sungai Serayu, cerita yang sangat panjang untuk ukuran sebuah cerpen, namun tetap asyik untuk dinikmati. Seperti arti cerpen sebagai karya yang habis baca dalam sekali duduk.


Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 1:59 PM

Friday, February 27, 2015

10 Hambatan Menulis

10 hambatan menulis ini saya dapatkan dari buku yang ditulis oleh Adian Saputra yang berjudul Menulis dengan Telinga.

Pertama, terlalu banyak pikiran
Kedua, bingung mulai dari mana
Ketiga, tidak punya waktu
Keempat, tersangkut di paragraf pertama
Kelima, tidak klik dengan tulisan
Keenam, tidak pede dengan tulisan sendiri
Ketujuh, enggak mood
Kedelapan, lingkungan yang tidak mendukung
Kesembilan, bahasanya payah
Kesepuluh, merasa kurang ilmu

Mari kita kupas satu per satu. Hambatan pertama yang dialami oleh penulis adalah terlalu banyak pikiran. Kalau teman saya bilang. Kalau mikir terus kapan nulisnya. Action...action..action. Banyak ide yang muncul di kepala akhirnya malah bikin bingung. Bukannya senang ya, kalau banyak ide yang bermunculan. Sayangnya tidak seperti itu. Ada beberapa cara untuk mengatasi munculnya ide. Salah satunya , tulis di kertas atau kalau pakai komputer bikinlah lembar kerja baru buat menampun ide tersebut. Siapa tahu ide yang muncul itu ide yang bagus. Ide yang segar. Memang kehadirannya mengganggu. Saat nulis ini, seolah-olah bawah sadar kita menghadirkan ide-ide lain. Bikin tidak fokus. Malah akhirnya tulisan yang kita buat tidak selesai. Kalau ada banyak waktu sih, tulis saja semua ide yang muncul. Nanti tulisannya diedit lagi.  Intinya, bersyukurlah ketika saat menulis banyak ide bermunculan.

Hambatan kedua adalah bingung mulai dari mana. Untuk mengatasi hambatan yang kedua ini, kita bisa memulai tulisan kita dengan membuat kerangka karangan dulu. Bisa juga dengan menuliskan poin-poin penting dulu yang akan kita uraikan sehingga menjadi karangan yang utuh. Bisa juga gunakan peta konsep, untuk menampung kata-kata kunci dari tulisan kita. Buatlah kata kunci sebanyak mungkin. Kalau sudah poin-poin atau kata kunci yang telah buat, kita susun urutannya. Kalau sudah cocok, rangkai kalimat-kalimat yang mendukung poin-poin atau kata kunci tersebut. Ada juga yang menggunakan trik, tulis saja kalimat apapun yang muncul dalam pikiran kita. Misalnya, mengawali tulisan dengan kata-kata," Aku sebenarnya tidak tahu, apa yang hendak kutulisakan. Tetapi...bla,,,bla...bla...", sampai akhirnya tulisan kita mengalir secara alamiah.

Hambatan menulis yang ketiga adalah tidak punya waktu. Saya kira ini hanyalah masalah klise saja. Ketika kita membutuhkan menulis. Kita menemukan kesadaran untuk berkontribusi pada masyarakat. Bisa kok, kita mengatur waktu sesuai keadaan kita, Apa mungkin sehari 24 jam, hanya habis untuk bekerja dan bekerja, Carilah waktu, bisa 30 menit atau 1 jam per hari.

Hambatan menulis yang keempat adalah tersangkut di paragraf pertama. Tulis saja apa yang muncul di pikiran. Seperti contoh di atas. Ketika sudah jalan, nanti juga bisa kaget sendiri kok tulisan saya sangat banyak ya. Persis ketika kita disuruh berpidato di depan orang banyak. Awalnya gagap, bingung mau ngomong apa. Eh..ketika sudah klik. Kok ngomongnya kita tidak ada habis-habisnya. Itu kalau saya loh. Kalau lagi ngobrol juga begitu. Sudah pamitan saja, muncul tema obrolan baru akhirnya gak jadi pamitan. Hehehehehe...

Hambatan selanjutnya adalah tidak klik dengan tulisan, Kita sudah menulis. Banyak. Dan sebenarnya sudah selesai. Tetapi kita merasakan apa yang kita tulis tidak sesuai dengan bayangan kita atau tema yang kita angkat. Baguslah kalau masih berpikir seperti itu. Ya apa boleh buat, baca lagi tulisannya, Kembalikan ke tujuan awal penulisan. Kurangi yang tidak perlu. Pertajam bagian yang penting. Tetapi, hal seperti ini jangan membuat kita stress atau tertekan. Jangan-jangan memang kita yang inginnya terlalu perfect. Ya, jagalah hati lah (Nggak nyambung kayaknya ya).

Hambatan keenam, tidak pede dengan tulisan sendiri. Tidak apa-apa sih perasaan seperti ini. Tapi jangan sampai hal itu membuat kita tidak mau berkarya, Wong saya menulis postingan ini juga gak terlalu PD kok. Kepikiran juga, dikira melakukan plagiat...ya niru-niru isi buku orang. Tapi tetap saja, saya paksakan menulis. Menurut saya, jauh lebih baik memaksakan menulis meskipun hasilnya seperti ini, Ketimbang terbebani perasaan-perasaan negatif seperti itu.

Hambatan ketujuh, enggak mood. Bagaimana lagi ya, kalau ternyata gak ada gairah dalam menulis. Paling-paling yang ditulis nanti isinya kacau. Garing kalau dibaca, Ya...akhirnya kembali ke diri kita sendiri lah. Kalau menganggap menulis sebagai tugas yang mulia...mood atau tidak mood..ya harus menghasilkan tulisan.

Hambatan kedelapan, lingkungan yang tidak mendukung. Awalnya saya pun merasakan seperti itu. Kadang harus bertengkar dengan anak-anak. Lagi mood nulis diganggu terus. Ide muncul tapi kok rumah berisik banget. Tapi lama-lama ya terbiasa saja kok. Disela-sela momong juga tetap bisa posting, meski dikit-dikit. Yang ringan-ringan saja, Untuk tema-tema yang agak berat memang, saya seringnya menyediakan waktu khusus maupun tempat khusus, Tempat khusus saya bisa di sekolah bahkan di perpustakaan daerah, Wuih nyamannya. Mengenai waktu, bisa saja dilakukan saat masih di sekolah. Atau kalau di rumah, ambil waktu-waktu saat anak-anak main atau tidur. Atau bangun tidur langsung nulis juga asyik..sampai anak-anak bangung. Kalau sekarang, jam di laptop menunjukkan angka 1.52 dini hari. Ya asyik juga ternyata, Jam 11 tadi, saat mau tidur salah satu anak saya terbangun, menangis akhirnya keluar naik motor. Pulangnya minta bikin susu. Sekarang tidur lagi, Dan saya kehilangan rasa ngantuk. Ya sudah, ketimbang bingung..mata hanya merem melek mending nulis saja.

Hambatan kesembilan, bahasanya payah. Apa boleh buat, untuk menulis ya harus belajar bahasa, Pahami tata bahasa maupun perkaya kosa kata Anda. Banyak membaca...dan juga banyak menulis apa saja, sambil sekali-kali membaca berbagai teori bahasa. Kalau andalan saya, ya buku-buku karangan Gorys Keraf baik lewat buku Komposisi-nya.

Hambatan terakhir, kurang ilmu. Wajar saja kok. Justru kalau merasa ilmunya sudah cukup bisa-bisa sebenarnya kita gaptek atau tulisan kita isinya dah jadul. Yang mudah, buatlah tulisan yang terkait dengan dunia pekerjaan kita. Misalnya saya jadi guru IPA ya nulis tentang pelajaran IPA atau artikel kependidikan yang lain. Tapi, biar tulisannya makin berisi, ya ilmunya harus selalu diupdate dengan membaca berbagai referensi. Seandainya, ingin menulis di luar bidang kita ya sah-sah saja. Tetapi mungkin kita lebih keras lagi dalam belajarnya. Contohnya untuk membuat blog bahasa dan sastra ini, saya agak berdarah-darah bikinnya. Apalagi yang saya hadapi dalam keseharian di sekolah mengenai pelajaran IPA (khususnya Fisika). Ya tidak nyambung...tetapi terus saya paksakan. Saya nikmati..sembari memupuk minat dalam belajar bahasa dan sastra. Dengan harapan, untuk menuliskan tema-tema lain, semoga bisa pawai juga.

Demikian postingan mengenai 10 hambatan dalam menulis. Semoga bermanfaat. Sekarang jam di laptop menunjukkan 2.04. Semoga bisa langsung tidur atau membaca buku-buku ringan pengantar tidur. Semoga tidur nyenyak, Kalau terpaksa mimpi, semoga diberi mimpi yang indah tetapi tetap sadar kalau sedang bermimpi.


Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 2:05 AM

Thursday, February 26, 2015

Bahasa Indonesia untuk Orang Asing

Bahasa Indonesia untuk Orang Asing, Daily Bahasa Indonesia for Foreigners
Ada rasa berbeda ketika membaca buku yang berjudul Survival Indonesian. Daily Bahasa Indonesia for Foreigner. An Elementary Course yang ditulis oleh Tina Mariani. Ada rasa bangga ternyata ada buku yang membahas bahasa Indonesia untuk orang asing.

Biasanya, di toko-toko adanya buku-buku bahasa asing yang ditujukan untuk orang Indonesia. Baik cara belajar bahasa Inggris, Bahasa Jepang, Bahasa Korea, Bahasa Perancis, Bahasa China, Bahasa Arab dan sebagainya. Kesannya kita bangsa Indonesia yang butuh untuk menguasai berbagai bahasa di dunia.

Tentunya, si pengarang ya tidak berpikiran ke arah sana. Menulis buku tersebut memang ditujukan untuk menuntun orang-orang asing yang akan berkunjung ke Indonesia, baik sebagai turis atau kepentingan yang lain.

Tetapi apapun itu, buku ini memang disajikan secara menarik, yang berisi lebih dari 40 dialog dengan menggunakan bahasa Indonesia seperti yang biasa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dimulai dari unit 1 yang berisi pengenalan diri sendiri. Standar seperti buku-buku bahasa Inggris, yang diawali dengan Introducing Your Self. Bedanya pada buku Daily Bahasa Indonesia for Foreigner ini, digunakan bahasa Indonesia baru pada kolom sebelahnya versi Inggrisnya. Kalau buku belajar bahasa Inggris, dituliskan bahasa Inggrisnya dulu, baru versi bahasa Indonesia ditaruh di bawahnya ataupun di kolom sebelah kanan.

Demikian juga untuk bab-bab selanjutnya, teks bahasa Indonesia ditampilkan terlebih dahulu baru teks dalam versi bahasa Inggrisnya. Ya, memang harusnya cukup adil bagi kita, jangan sekedar menulis buku-buku belajar bahasa asing untuk kita pelajari. Tetapi sebaliknya, kita buat buku tentang bahasa Indonesia yang ditujukan bagi orang-orang luar yang akan berkunjung ke Indonesia.

Semangat. Terus belajar dan berkarya demi perkembangan bahasa Indonesia tercinta ini.

Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 12:15 AM

Tuesday, February 24, 2015

Nyai Dasimah dan Keperempuanan

Membaca Nyai Dasimah versi S.M. Ardan, membuat luka di hati saya agak terobati. Anggapan Dasimah, sebagai perempuan yang "doyan harta", lupa dengan darah pribuminya sedikit sirna. Demikian juga dengan sosok Samiun yang dalam versi aslinya menggunakan guna-guna, memanfaatkan kekayaan Nyai Dasimah juga sedikit sirna.

Apalagi yang melakukan guna-guna adalah seorang haji, Haji Salihun. Dalam pandangan saya, itu suatu alur cerita yang ngawur. Tidak memahami nilai-nilai agama, khususnya Islam. Jelas, dalam versi-nya S.M. Ardan, tidak ada guna-guna. Bahkan ketika Samiun meminta sejenis pelet dan sebagainya, ditolak mentah-mentah oleh Haji Salihun. Bahkan selalu menasihati Samiun menjadi orang yang benar.

Nyai Dasimah yang datang sendiri kepada Samiun. Dia terpanggil hati nuraninya untuk meninggalkan tuannya (suami Inggrisnya), karena jenuh dan sangat kecewa dengan kehidupannya selama ini. Tinggal di gedung, kesepian, hanya melayani keinginan seksual semata dari tuan Inggris itu, Tuan Edward William.

Dasimah adalah sosok yang punya hati nurani untuk tinggal di kampung, berkumpul dengan para pribumi lain. Tak perlulah, dia menjadi korban pelet dari Samiun. Ataukah anggapan Samiun yang menganggap Nyai Dasimah secantik Cleopatra maupun Ken Dedes yang menggetarkan hati Ken Arok, ketika tersingkap betisnya. Bagi saya, sangat berlebihan lah.

Memang diakui bahwa Samiun mempunyai istri yang kerjanya hanya menghabis-habiskan uang. Tetapi apakah sudah sedemikian gilakah istri Samiun itu, bernama Hayati, ikut melakukan rencana yang jahat untuk menghabiskan harta Nyai Dasimah. Sehingga dia rela dimadu. Termasuk juga, posisi Ibu Samiun, yang sama-sama bersepakat dengan anak dan menantunya, menjebak Nyai Dasimah demi hartanya. Jujur saja, rasa ke - Indonesia - an saya merasa terhina. Benarkah dalam kondisi terjajah (sesuai seting cerita tersebut), ada orang kampun yang berpikir dengan penuh intrik dan tipu muslihat?

Kembali kepada Dasimah. Di dalam kehidupannya dengan Tuan Edward, Nyai Dasimah ibaratnya hanya sebagai pemuas semata. Tidak diperbolehkan dia bergabung dengan teman-teman suaminya tersebut. Dibiarkan dia dalam kebodohan. Yang penting segala kebutuhannya terpenuhi. Khususnya terkait dengan harta benda. Waktu terus berjalan, dan sisi keperempuanan Nyai Dasimah semakin terusik dengan keadaannya. Kebahagiaan semu. Kebahagiaan palsu,  yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun, apalagi ketika bertemu dengan Samiun.

Di samping itu, darah pribumi masih segar mengalir pada dirinya. Kerinduan kepada kampung halamannya, kerinduan dengan orang-orang yang sebangsa dengannya. Senasib dengannya. Membuat Nyai Dasimah harus meninggalkan segala gelimang harta. Memutuskan pergi. Lepas dari kehidupannya sebagai bini dari seorang Tuan Inggris.

Entah apa nasibnya berikutnya, apakah akan bahagia atau mati secara tragis, Setidaknya mati dengan lepas menjadi gundik dari seorang bangsa asing.
Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 11:47 PM

Saturday, February 7, 2015

Mengenal Gaya Bahasa : Pengertian dan Macamnya

Mengenal Gaya Bahasa : Pengertian dan Macamnya

diksi dan gaya bahasaGaya bahasa lekat sekali dengan retorika. Setiap orang dalam berkomunikasi dengan orang lain punya gaya bahasa yang berbeda-beda. Gaya bahasa atau style ini, secara sederhana dapat diartikan dengan cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa yang digunakan pemimpin kita, dari Bapak Sukarno, Suharto, Habibie, Abdurahman Wahid (Gus Dur), Megawati,  SBY, sampai Presiden Jokowi sangat berbeda-beda. Kita bisa membayangkan dan membedakannya dengan jelas.

Pengertian Gaya Bahasa, menurut Gorys Keraf dalam buku Diksi dan Gaya Bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Apapun gaya bahasa yang dipakai, harus memenuhi syarat berikut : kejujuran, sopan-santun, dan menarik. Ketiganya satu paket yang saling melengkapi. Jujur tapi tidak sopan sangat mungkin akan ditinggalkan pembacanya. Demikian juga sudah jujur menggunakan sopan-santun tapi materi/tulisan tidak disampaikan secara menarik juga akan ditinggalkan pembaca.

Gaya bahasa (atau style)ini bermacam-macam. Gaya bahasa ini dapat dilihat dari segi nonbahasa maupun segi bahasa. Dari segi nonbahasa, gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan : 1) pengarang; 2) masa; 3) medium; 4) subyek; 5) tempat; 5) hadirin; dan 6) tujuan. Sedangkan berdasarkan segi bahasa, gaya bahasa dibedakan berdasarkan  : 1) pilihan kata; 2) nada yang yang terkandung dalam wacana; 3) struktur kalimat; 4) langsung tidaknya makna.

Dengan mendasarkan pada macam-macam gaya bahasa (atau style) ini, wajar kan jika setiap orang bisa kelihatan gaya bahasanya. Seperti gaya bahasa pemimpin kita yang bermacam-macam (contoh aspek nonbahasa). Demikian juga kalau membaca karya para penulis Indonesia, kita pun akan mengenal gaya Chairil Anwar, Gaya Sutan Takdir Alisyahbana, gaya Pramudya Ananta Tour, gaya NH Dini dan lain-lain. Contoh aspek non bahasa yang lain, yaitu gaya bahasa berbeda untuk tiap-tiap subyek bahasan. Misalnya gaya penulisan ilmiah, filsafat, teknik, hukum, sastra dan sebagainya. Masing-masing subyek tersebut punya ciri khas sendiri-sendiri.

Dalam segi bahasa, gaya bahasa juga bermacam-macam. Berdasarkan pilihan kata yang digunakan, ada gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi dan gaya bahasa percakapan. Berdasar nada ada gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah. Berdasarkan struktur kalimat, ada gaya bahasa klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi. Berdasarkan langsung tidaknya makna ada gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan

Dengan memahami pengertian gaya bahasa dan macam-macamnya, kita bisa meningkatkan cara kita berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Meskipun banyak sekali macamnya, kita tentunya berharap tetap punya ciri khas dalam berbahasa (atau punya style tersendiri) tapi tetap mendasarkan diri pada kejujuran, sopan-santun, dan menarik hati.

Sumber : Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. PT Gramedia Pustaka Utama
Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 11:53 PM

Friday, February 6, 2015

Sesat Berpikir, Hubungan Logika dengan Belajar Bahasa

Sesat Pikir, Hubungan Logika dengan Belajar Bahasa


Sesat pikir, yang saya kira lebih banyak ke sains maupun matematika ternyata salah satunya sangat terkait dengan bahasa. Jadi tidak ada salahnya, mempelajari buku Pengantar Logika dalam Belajar Berbahasa.

Pada bagian akhir buku Pengantar Logika yang ditulis oleh Jan Hendrik Rapar dibahas mengenai sesat pikir. Sesat pikir (fallacy, Inggris) merupakan kesalahan penalaran yang disebabkan oleh pengambilan keputusan yang tidak sahih. 

Sesat pikir, dibagi dalam tiga jenis, yaitu sesat pikir karena bahasa, sesat pikir formal, dan sesat pikir material. Terkait dengan belajar bahasa, pada postingan kali ini, akan dibahas mengenai sesat pikir karena pemakaian bahasa. Untuk sesat pikir formal maupun sesat pikir material, tentunya tetap berpengaruh juga pada pemakaian bahasa. Tapi menurut penulis, sesat pikir bahasa yang lebih dulu perlu dibahas pada blog bahasa dan sastra ini.

Terjadinya sesat pikir karena bahasa dapat terjadi karena kesalahan sebagai berikut :

1. Menggunakan term ekuivokal

Term ekuivokal adalah term yang memiliki makna ganda. Misalnya jarak yang berarti sela antara dua benda atau yang dimaksud pohon jarak. Sesat pikir jenis ini disebut sesat pikir ekuivokasi (fallacy of equivocation).
2. Menggunakan term metaforis

Term metaforis artinya kata atau sekelompok kata yang tidak memiliki arti yang sederhana. Misalnya : Pemuda adalah tulang punggung bangsa. Sesat pikir jenis ini disebut sesat pikir metaforisasi (fallacy of methaporization).
3. Menggunakan aksen yang membedakan arti suatu kata

Ada kata-kata yang berbeda artinya karena perubahan aksen. Contohnya apel dalam apel bendera dengan apel buah. Sesat pikir jenis ini disebut sesat pikir aksen (fallacy of accent).
4. Menggunakan konstruksi kalimat bermakna ganda

Kamimat yang bermakna ganda disebut amfiboli (amphiboly). Susunan kalimat ini sedemikian rupa disusun agar mempunyai makna yang berbeda/ganda. Misalnya : Saya mencintai kekasihku, demikian juga dengan Maya. Kalimat ini bisa diartikan Saya mencintai kekasihku  sendiri dan Maya juga mencintai kekasihnya Maya sendiri. Atau juga diartikam Saya mencintai kekasihku sendiri dan Maya juga mencintai kekasihku.

Kalau diamati, sesat pikir tersebut adalah hal yang lumrah dalam penggunaan bahasa, Kan tidak mungkin kita menghindari penggunaan metafora misalnya. Meskipun demikian, kita tentunya harus menghindari, terutama jika naskah yang kita tulis mengenai kategori non fiksi. Apalah artinya penggunaan kata-kata yang berbuih-buih tapi malah menimbulkan salah tafsir.

Demikian postingan mengenai sesat pikir, hubungan logika denga belajar bahasa semoga kita bisa terhindar darinya. Dan memang kalau melakukan sesat pikir segera sadar dan bukan malah sengaja melakukan sesat pikir untuk memanipulasi pikiran orang lain.
Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 10:00 PM

Tuesday, February 3, 2015

Puisi Chairil Anwar tentang Cinta

Puisi Chairil Anwar tentang Cinta

Cintaku Jauh di Pulau Chairil Anwar
Sumber : ernybinsa.blogspot.com
Membaca puisi Chairil Anwar tentang cinta membuat jiwa yang rapuh makin rubuh. Membaca puisi Chairil Anwar membuat jiwa yang kuat makin tak terkendali. Membuat yang menerima akan makin menerima. Coba resapi puisinya yang berjudul Senja di Pelabuhan Kecil, membuat kita makin pasrah dengan penantian yang tak bertepi. Atau mungkin menikmati puisi tersebut, sedangkan di sisi lain membayangkan diri sebagai binatang jalang dari kumpulan yang terbuang. Cintanya akan makin menderu...menggebu...lupa diri.

Pada puisi Chairil Anwar kali ini, yang berjudul Cintaku Jauh di Pulau, apakah yang akan kita rasakan. Seperti berikut ini puisinya :
CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau
gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar.
angin membantu, langit terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja".

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
..........................................................................
Membaca puisi Chairil Anwar tersebut, aku malah bingung sendiri dengan adanya kata-kata iseng sendiri. Cintaku jauh di pulau gadis manis, sekarang iseng sendiri atau kalau 'ku mati, dia iseng sendiri. Maksudnya apa ya? Apakah cinta Chairil Anwar hanya main-main. Ataukah si dia, yang tak punya rasa. Atau bahkan dia menjadi gila? Karena penantian yang berkepanjangan.


Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?
Siapa sih sebenarnya yang meninggal. Apakah sih Chairil Anwar atau kekasihnya. Mati sebelum cinta keduanya bertemu. Ataukah sebenarnya cinta tak terbalas. Tapi kalau membaca bait terakhir "kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri", seolah-olah keduanya adalah soulmate, satu hati, Mati satu, yang satunya pun ikut mati. Tapi kok kesannya gimana. Kepasrahan pada takdir sebegitunya. Tidak ada energi untuk memancarkan cinta. 

Yang penting menemui. Entah bertemu atau tidak. Entah terlambat atau tidak bukanlah menjadi soal. Yang penting hati ini ingin bertemu, entah kapan sampainya.

angin membantu, langit terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Kenapa tidak dijelaskan, mengapa dia yakin bertemu dengannya. Mengapa dengan keyakinan yang seperti itu dia terus melajukan perahunya. Apakah sebenarnya pulau yang dituju tidak pernah ada. Ataukah pulau yang dituju sebegitu jauhnya, sehingga tidak mungkin ditempuh. Ataukah juga yang dianggap kekasih itu sudah 'raib'. Entah ke mana?

Setiap orang berhak menafsirkan puisi Chairil Anwar tersebut. Dengan benak yang berbeda-beda, penafsiran pun berbagai macam. Yang jelas dapat disimpulkan dari puisi berjudul Cintaku Jauh di Pulau adalah Chairil Anwar tidak pernah bertemu dengan seseorang yang dianggap kekasihnya. Ya...itu yang kurasakan.

Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 3:07 PM

Sunday, February 1, 2015

Cara Menulis Novel : Proses Kreatif Para Penulis Terkenal

Cara Menulis Novel : Proses Kreatif Para Penulis Terkenal

Kiat Sukses Mengarang Novel
Kiat Sukses Mengarang Novel
Cara menulis novel bermacam-macam. Salah satu kiat yang bisa dilakukan adalah dengan  mempelajari proses kreatif para penulis terkenal. Seperti yang diuraikan pada buku Kiat Sukses Menulis Novel yang ditulis oleh Saut Poltak Tambunan.

Bisa menulis novel serta menjadikan novel yang ditulis menjadi best seller tentu menjadi impian para penulis. Sudah saatnya untuk menjadikan novel yang kita buat laku keras di pasaran. Dengan menggunakan pendekatan strategi pemasaran, membuat breakthrough bagaimana agar novel masuk ke pasaran, cara membuat judul, membuat nama pena diperhitungkan dalam kesuksesan penulisan novel. Begitu sekilas ulasan buku Kiat Sukses Mengarang Novel.


Tetapi dalam postingan ini, hanya dibatasi pada cara menulis novel dengan mengkaji proses kreatif yang dilakukan para penulis terkenal. Kalau dalam buku tersebut ada 17 pengarang yang dibahas seperti Ali Muakhir, Arie MP Tamba, Dewi 'Dee" Lestari, Pipiet Senja, Putu WIijaya, Zarah Zattira ZR, bahkan Saut Poltak Tambunan sendiri.

Ali Muakhir penulis buku "Funny Stories for Boys and Girls", seringkali mengkompilasi imajinasi dan kisa nyata menjadi sumber inspirasi bagi novel-novelnya. Ana Mustamin, pemenang I Lomba Penulisan Cerpen yang diselenggarakan dalam LBH, lewat cerpennya judul "Lewat Tengah Malam", mengatakan cerpennya tersebut ditulis hanya tiga jam sebelum lomba itu ditutup. Ana biasa melakukan riset mengenai kepribadian seseorang untuk mematangkan para tokohnya. Ada Anny Djati, penulis novel "Dilema Perempuan" serta cerpen "Fatamorgana". Novelnya tersebut ditulis dengan sepenuh jiwa karena ia membawa misi suara hati perempuan. Sedangkan cerpennya ditulis secara mengalir begitu saja. Tatkala rindu dengan cinta pertamanya yang dianggap sudah mati, meskipun sebenarnya masih hidup.

Pipiet Senja juga sering mengangkat kisah nyata untuk bahan ceritanya. Kemudian membuat outline bab per bab. Judul dibuat terlebih dahulu. Setting dan tokoh sudah disiapkan. Meskipun demikian, penambahan dan pematangan tokoh maupun seting sering dilakukan. Melalui datang ke lokasi kejadian, googling maupun melalui komunitasnya. Bagi Putu Wijaya, menulis itu seperti menyapa orang. Dia juga banyak mencari inspirasi dari kisah nyata. Tetapi ketika menulis, dia membiarkan imajinasinya mengalir begitu saja. Kisah nyata dijadikan sebagai pemicu.

Banyak hal lain yang dapat dipelajari dari para penulis terkenal. Beda lagi dengan Zara Zettira, yang lebih suka disebut sebagai penulis dari pada pengarang. Karena dia gak suka mengarang-ngarang cerita. Menulis membuat Zara jadi berarti. Itu yang penting. Mirip orang yang bermeditasi. Fokus dan mengalami kegembiraan luar biasa ketika bisa menyelesaikannya.

Setiap orang punya cara sendiri dalam menulis novel. Yang lebih penting lagi bagaimana langsung menulis. Sekarang juga. Kalau saya sendiri, jarang menulis cerpen. Novel juga belum pernah. Berbeda jauh dengan Zara Zettira yang tidak menyukai deadline. Kalau saya cenderung menulis jika sudah mau deadline bahkan kalau perlu temanya sudah ditentukan.

Semoga postingan yang berjudul Cara Menulis Novel : Proses Kreatif Para Penulis Terkenal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Untuk teknik-tekniknya, nantikan dalam postingan selanjutnya. Intinya, kita bisa banyak belajar dari para pengarang bukan hanya lokal tapi yang sudah mendunia. Tak terbayangkan kan jika Dr. Karl May, yang menulis banyak bercerita tentang Winetou, Old Firehand, Old Shatterhand tanpa mengunjungi tempat-tempat yang menjadi seting ceritanya, bisa membuat setingan yang begitu detil. Kira-kira apa ya rahasianya. Padahal dulu belum ada mbah Google. Geleng-geleng kepala saja deh.
Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 8:45 PM

Puisi Chairil Anwar yang Romantis

Puisi Chairil Anwar yang Romantis

Chairil Anwar
Sumber : en.wikipedia.org

Puisi Chairil Anwar, puisi yang melegenda. Puisi yang menginspirasi. Puisi yang memotivasi. Puisi yang menjadikan lupa. Lupa akan fisik yang makin rapuh. Sedang semangat terus bergejolak. Semangat yang tak dapat siapa pun menahan. Untuk terus berkarya. Untuk bersikap jalang kalau memang diperlukan. Menjadi gila kalau memang waras sudah bukan lagi pilihan yang baik. Terus menerkam. Menghadang. Tak lekang oleh jaman.

Kok, jadi ikut-ikutan emosi (baca semangat) membayangan bait-bait puisi karya Chairil Anwar. Wah, bagaimana kalau judul postingannya diganti dari Puisi Chairil Anwar menjadi Puisi Chairil Anwar yang romantis. Wah, tapi harus mengingat-ingat dulu. Dulu guru bahasa Indonesiaku, saat SMA pernah membacakannya.

Senja di Pelabuhan Kecil
                         buat Sri Ayati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tidak berlaut
menghapus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam, Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

(Diambil dari kumpulan puisi Deru Campur Debu, PT Dian Rakyat - Jakarta).

Kalau membaca dari judul puisi Chairil Anwar tersebut yang diawali dengan adanya  kata senja, pelabuhan, bahkan pelabuhan kecil sudah tercium aroma romantisnya. Beda kalau judulnya misalnya senja diganti siang, yang terpikir oleh saya adalah ada kejadian yang tidak diinginkan, tidak jauh dari unsur-unsur kekerasan misalnya kecelakaan maupun perkelahian. Pilihan kata senja ada dua hal yang muncul di bayangan, bisa bicara pertemuan dengan seseorang, penantian tak berakhir, maupun sekedar mengenang.

Demikian juga pilihan kata pelabuhan kecil. Dalam bayangan saya, ada seseorang yang sedang melakukan penantian. Menantikan kekasih. Berbeda kalau diganti dengan pelabuhan besar, penantiannya sangat umum. Bisa menunggu orang tua, teman, atau siapapun. Setelah itu diikuti dengan kata-kata hiruk pikuk, terik, kebisingan, jauh-jauh dari unsur romantik. Ya terserah juga sih Chairil Anwar memilih kata dalam puisinya.

Kalau saya hanya berusaha menggali atau menafsirkannya. Apalagi di bawah judul, jelas menunjukkan puisi ini untuk seseorang yaitu Sri Ayati. Siapa sih Sri Ayati. Mantan pacarnya. Atau seseorang yang pernah dicintai. Kasih tak sampai. Ataukah seorang perempuan yang pernah ditemuinya, di suatu saat. Hanya sesaat. Tetapi membawa kenangan sepanjang masa. Silakan ditafsirkan. Yang nampak jelas oleh saya, puisi tersebut isinya penantian. Penantian yang berkepanjangan.

Dan penantian tersebut agaknya akan terus dilakukan. Meskipun dia hanya sendiri di sana. Ketika tidak ada kapal yang melaut. Hanya ada kelepakan elang dan deburan ombak yang tak habis-habisnya. Tiada lagi yang bisa diharapkan untuk datang. Pada saat itu. Hari itu. Karena di hari selanjutnya, dia akan kembali ke sana. Menunggu. Berharap. Dan itu yang dilakukannya sepanjang waktu.

Suasana hati pun ikut terbawa membaca puisi Chairil Anwar yang romantis tersebut. Ternyata. Tidak ada semangat yang menggelegak. Yang ada hanyalah pasrah. Setia melakukan penantian yang tak bertepi. Tapi...tak perlu ada air mata.




Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 5:19 AM

Saturday, January 31, 2015

Lepas Sambut

Lepas Sambut

Lalu lalang
Entah mencari apa
Pastinya tak tertemukan segera
Antara ada dan tiada
Sampai waktu pun tak mampu menghalangi

Seutuhnya...
Aku terus melangkah
Mencari dan mencari
Buat bekal kelak
Untuk menghadap Mu
Tuhan...

Purbalingga, 31 Januari  2015
Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 11:01 AM

Friday, January 30, 2015

Kasus Plagiarisme di Indonesia : Malas Berpikir atau Malas Menulis

Kasus Plagiarisme di Indonesia : Malas Berpikir atau Malas Menulis

Kasus Plagiarisme
Sumber : http://www.siperubahan.com/
Menulis postingan kasus plagiarisme di Indonesia bukan berarti untuk menjelek-jelekkan bangsa sendiri. Tetapi justru sebagai autokritik agar kita sama-sama bertekad untuk memajukan bahasa dan sastra Indonesia di satu sisi. Sedang di sisi lain, agar kita mau menambah khazanah suatu keilmuwan melalui tulisan yang kita buat.

Hindari berpikir untuk mementingkan diri sendiri lewat karya-karya yang yang "tidak halal". Agak jauhlah berpikir tentang dunia kerja kita bahkan berpikir tentang ke Indonesiaan. Apa yang bisa dibanggakan dengan membuat karya yang merupakan jiplakan atau duplikat? Selain memalukan diri sendiri/instansi juga tidak membuat kontribusi dalam keilmuwan yang  sedang ditekuni. Sebenarnya plagiarisme itu wujud malas berpikir atau malas menulis atau bahkan malas kedua-duanya.

Di Indonesia, fenomena plagiarisme merata di mana-mana. Saya ingat betul, dalam keseharian memberikan tugas kepada siswa, banyak sekali jawaban identik dan terindikasi kuat mencontek. Seringnya lebih banyak memaklumi, ketimbang mereka tidak mengerjakan tugas. Teringat juga saya ketika kuliah. Jika ada tugas mata kuliah yang memang tidak paham. Tidak ada jalan lain selain menjiplak. Ketidakpahaman tersebut, bisa disebabkan karena malas berpikir. Kejadian-kejadian ini bisa dikatakan sebagai cikal bakal plagiarisme di Indonesia. Dimulai dari bangku sekolah atau akademik dulu lah. Kalau di sana, banyak kecurangan-kecurangan dalam bentuk plagiarisme apalagi di dunia luar.

Terkait dengan kasus contek-mencontek di kalangan pelajar atau mahasiswa belum terdengar kalau kemudian mereka dihukum atau dicopot gelar pelajar atau mahasiswanya. Mahasiswa, yang dimaksud di sini mahasiswa S1 ke bawah. Bikin skripsi atau tugas akhir jika ketahuan ya..harusnya disuruh mengulang saja. Kasus plagiarisme di Indonesia yang baru-baru ini mencuat, dilakukan bukan oleh pelajar atau mahasiswa, tetapi dilakukan oleh para dosen. Baik untuk mengejar angka kredit dalam bentuk jurnal ilmiah, maupun mengejar gelar S2 maupun doktornya. Bahkan yang bergelar profesor pun ada yang terkena kasus plagiarisme.

Nah, kalau kasus plagiarisme menimpa seseorang yang dianggap dari kalangan intelektual. Kira-kira tindakan mereka itu dikarenakan malas berpikir atau malas menulis. Ketimbang pusing-pusing mengembangkan keilmuwan, mendingan mencari sabetan sana-sini buat menambah pemasukan. Karya ilmiah, kalau dibutuhkan tinggal cari di internet atau kios-kios penjual artikel/karya tulis. Ya biar tidak terlalu kelihatan dan agak keren, tinggal menerjemahkan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya. Artikel dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ke bahasa Inggris dan dikirim ke jurnal internasional atau koran berbahasa Inggris yang ada di Indonesia, seperti The Jakarta Post.

Malas menulis, juga menjadi pemicu kasus plagiarisme. Sederhana saja, ide tidak muncul setiap saat. Suatu karya tercipta melalu proses intektual yang panjang. Tidak ada cara instan menjadi penulis handal. Nah, ketika suatu saat terbentur oleh keadaan. Katakan mendapat "deadline" untuk membuat karya ilmiah. Apa yang dilakukan? Ide sedang macet. Ada ide tapi tidak punya referensi yang cukup. Atau ada ide tapi tidak punya kemampuan untuk mengembangkan. Bagi penulis yang "amatir" atau katakan tidak piwai menulis, tentulah bukan hal yang mudah untuk mendapatkan ide sekaligus mengembangkan ide tersebut menjadi gagasan yang utuh. Nah, kalau kita menyadari keterbatasan diri dalam menulis, tentu tidak ada jalan lain untuk mulai menulis. Setidaknya mulai mencicil membuat suatu karya, agar terhindar dari melakukan solusi cepat seperti menjiplak.

Demikianlah postingan kali ini, semoga bermanfaat bagi kita semu.
Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 7:48 PM

Monday, January 26, 2015

7 Dosa (Seorang) Penulis

7 Dosa (Seorang) Penulis

Sumber : wikipedia.org
Ikut-ikutan The Seven Deadly Sins, kami juga ingin menuliskan judul 7 dosa (seorang) penulis. The Seven Deadly Sins merupakan klasifikasi sifat buruk yang cenderung akan dilakukan manusia. Ketuju dosa tersebut adalah  : murka, nafsu, rakus, serakah, malas, dengki/iri hati, dan sombong.


1. Menulis dengan kemarahan

Pernahkah menulis dengan kemarahan, Puaskah? Atau malah tambah marah. Mungkin ada saking marahnya malah bisa lancar menulis. Berpuluh-puluh lembar tulisan berisi ungkapan kemarahan terhadap suatu kejadian/peristiwa.
Sadarkah buat siapa dia menulis. Apakah menulis dengan otak panas akan menjadi tulisan yang obyektif. Apakah bukan sekedar menulis dari satu sudut pandang saja. Sudut pandang kemarahan tentunya.

Ya. Aku juga beberapa kali mengalami. Entah marah karena diputus pacar. Atau marah di tempat kerja. Dalam kondisi marah bisa lancar menulis berlembar-lembar. Entah dalam bentuk puisi, curhata atau apa. Tapi yang jelas tidak bisa dalam bentuk artikel ilmiah. Ya, bagaimana mungkin, ketika kondisi otak kanan begitu dominan berharap mendapatkan karya dari pikiran otak kiri.

Cobalah baca tulisan-tulisan Anda yang sedang marah, Bacalah seminggu, sebulan, atau setengah tahun, bahkan sepuluh tahun kemudian. Apakah kita tertawa atau bersyukur. Untung tulisanku yang dulu tidak pernah saya kasihkan ke orang lain. Bisa malu deh. Atau bahkan menyesal karena tulisannya yang dulu hanya disimpan sendiri.

Hindarilah menulis dengan kemarahan. Kecuali Anda tidak mau.

2. Menulis tanpa peduli dengan pembacanya.
Terbayangkan menulis tentang kalkulus untuk anak SD? Ataupun menulis dengan bahasa yang gaul, acak-acakan di jurnal ilmiah? Ataukah menulis berita politik di tabloid kuliner?
Meskipun ketiga pertanyaan itu terasa dibuat-buat, tetapi maksudnya adalah kalau menulis lihatlah sasaran pembacanya. Menulis untuk karya fiksi berbeda dengan non fiksi. Sama-sama menulis non fiksi pun, akan berbeda jika disajikan untuk masyarakat awam dengan menulis untuk jurnal ilmiah.

Beda lagi tentunya, jika pembacanya bukan dari golongan manusia. Wah..menakutkan deh.
Yang jadi pegangan kunci adalah menulis tetap dengan bahasa yang baik dan benar. Tetapi gaya penulisan itu bermacam-macam, sesuai dengan tema maupun sasaran pembacanya. Dalam menulis naskah  nonfiksi, hindari penggunaan kata-kata yang konotatif. Kata-kata yang bermakna ganda. 
Beda halnya menulis untuk karya fiksi (cerpen ataupun novel), kalau melulu menggunakan kata denotatif, ya dijamin garing tulisannya. Bisa-bisa idenya juga garing.

Demikian juga, ketika kita menulis buku untuk siswa TK/PAUD, SD, SMP, SMA, S1. S2, S3 tentunya pun dengan gaya yang berbeda-beda. Belum lagi tulisan untuk masyarakat umum. Meskipun d daerah kampus (kost-kost an mahasiswa misalnya). Ya belum tentu mau membaca tulisan yang berat. Karena niat mereka membeli buku/majalah/surat kabar untuk mendapatkan informasi yang ringan.  Beda kan kalau diharuskan akan diujikan, pakai bahasa planet pun akan dipelajari.

 3. Menulis tanpa organisasi/kerangka
Maksudnya begini. Jangan sampai kita punya ide yang bagus, tetapi tidak dituliskan sesuai kaidah/format penulisan yang ditentukan. Dalam bentuk artikel pun, ada pembukaan, isi dan penutup, Ide sedahsyat pun akan ditertawakan orang, setidaknya dipandang sebelah mata, jika tidak menulis sesuai ketentuan. Misal langsung masuk isi dan penutup, bahkan pembukan tanpa isinya langsung penutup. Apalagi malah lupa judulnya. Mungkin juga kan lupa judul? 

Apalagi menulis buku, ya lengkapi dengan halaman judul, kata pengantar, daftar isi, daftar referensi (khususnya buku non fiksi). Daftar kata-kata penting/sulit atau glosarium juga perlu ditambahkan. Sesuaikan dengan kebutuhan. Tetapi harus lengkap isinya. Ibaratnya punya beli jam dinding, sebagus apa pun kalau tidak ada kaca penutup bahkan malah tidak ada jarumnya kan jadi gak lucu.

4. Menulis tanpa referensi
Menulis tanpa referensi. Wow, bagaimana hasilnya? Pasti orisinil. Iya, kalau bisa sih. Kalau tidak? Bisa-bisa isinya hanya cerita kesana-sini tidak ada isi. Tong kosong nyaring bunyinya, oceh sana-sini tak ada isi. Otak udang.......(liriknya Slank kalau bener loh).

Seperti tulisan ini, bagaimana kualitasnya. Miskin referensi itu salah satu hambatan penulis. Apalagi malas membaca. Contoh menulis postingan ini, idenya dari buku Jurus Maut Menulis Buku Best Seller dan googling tentang keterkaitan Spongebob dengan Seven Deadly Sins. Tetapi berhubungan mata mengantuk, dan isi dalam kepala ingin cepat dikeluarkan. Ya referensi-referensi saya tinggalkan. 

Dosa penulis yang fatal. Menulis tanpa referensi atau menulis tanpa mau baca referensi. Referensi dipakai tapi dengan sangat minim.

Saya yakin, penulis-penulis sekaliber Ahmad Tohari, Pramudya Ananta Tour, N.H Dini, Andre Hirata pun harus riset dulu sebelum membuat novelnya. Sedangkan kita, hanya berharap dapat ide dari langit dan menulis bak penulis kelas dunia. Boleh-boleh saja, saja asal kedalaman isi maupun mutu tulisan terjaga. Cuma hati-hati saja, ketika kita merasa apa yang ditulis orisinil, ternyata sudah banyak ditulis oleh orang lain.

5. Menulis asal-asalan
Menulis asal-asalan yang dimaksud di sini artinya asal menulis. Menulis tanpa ada konsep yang jelas, Menulis tanpa ada tema yang jelas. Menulis tanpa ada sasaran pembaca yang jelas. Menulis tanpa memperhatikan kaidah penulisan. Boro-boro mikir sintaksis maupun semantik. 

Menulis asal-asalan atau asal menulis itu salah satu ciri penulis yang malas. Entah malas menicil sehingga dikejar deadline. Malas membagi waktu sehingga sama, dikejar deadline. Malas membaca buku, malas menulis bahkan.

Malas menulis tetapi memaksa menulis, ya boleh-boleh saja. Tetapi jika kualitas tulisannya asal-asalan, wah rugi lahir batin. Pertama rugi karena menyakiti diri sendiri. Apa enaknya melakukan sesuatu karena dipaksa. Kedua tidak ada yang mau baca tulisannya.

Kalau memang jenuh, carilah kegiatan lain dulu untuk refreshing, Atau cobalah menulis tema yang belum pernah kita tulis sebelumnya, sebagai selingan. Baru ketika mood dah datang, kita hajar tulisan kita.

Banyak kok, buku/tulisan yang membahas kiat-kiat agar tetap menjaga mood menulis. Kiat-kiat agar tulisan diterima redaktur. Kiat-kiat menulis buku yang laris dan seterusnya.

Sekali lagi jangan menulis asal-asalan, takutnya malah mempermalukan diri sendiri.

6. Menulis tanpa mau diedit
Nah ini, penyakit/dosa yang sering saya lakukan. Menulis tanpa mau diedit. Alhasil dibaca beberapa hari kemudian ternyata tulisannya kacau. Ada kesalahan ketikan. Idenya tidak jelas. Tulisan tidak tersaji secara sistematik. Pembahasannya tidak mendalam, Terlalu terpaku pakai sudut pandang sendiri. Tidak adil dalam menulis (wah apa maksudnya ya?).

Ada beberapa alasan seorang penulis tidak mau diedit tulisannya, 
Pertama, menganggap tulisannya sudah sempurna. Tidak perlu campur tangan dari pihak lain. Tidak mau menerima kritikan. Intinya menganggap tulisannya sudah bagus banget.
Kedua, karena dikejar waktu. Dikhawatirkan kalau diedit, tulisannya tidak kelar. Ya..boleh saja alasannya. Tapi jangan menyesal kalau ada apa-apa nanti.
Ketiga, tidak percaya diri. Malu jika tulisannya diketahui orang lain. Apalagi oleh saudara, teman, tetangga atau siapapun yang kenal dengannya. Alasan yang masuk akal juga, tetapi tidak berlaku jika memang menulis untuk dikirimkan ke surat kabar/majalah/penerbit. Toh akhirnya memang buat dibaca orang lain. Ketimbang ketahuan salah nantinya, mending diedit/dibaca dulu deh. Tidak semua orang loh mau jadi editor.

7. Menulis dengan mencuri sumber lain
Plagiat adalah dosa yang harus dihindari. Dosa besar. Mending tidak menulis ketimbang mencuri ide orang lain. Kalau dulu waktu sekolah/kuliah sering begitu. Sekarang lupakan. Bisa-bisa kita mendapatkan karma. Tulisan-tulisan kita tidak ada yang mau baca.

Beberapa kali aku juga merasa dibohongi oleh penulis. Pada suatu ketika, aku beli buku yang kelihatan menarik. Bahkan bukan hanya sekali. Selang beberapa waktu kemudian, entah berapa bulan atau sekian tahun aku menemukan buku aslinya, dalam bahasa Inggris. Kecewa dong. Saya kira waktu itu mendapatkan buku bagus, ternyata hanya terjemahan yang diambil sebagian-sebagian. Artinya dalam buku aslinya tebal, tapi diambil separuhnya dulu kemudian dibuat 2 atau 3 edisi buku. Entah pakai istilah buku 1, buku 2, buku 3 dan seterusnya, Atau pakai istilah agak keren edisi beginner, edisi advance. Yakinlah jangan seperi itu, Kalau menerjemahkan tuliskan saja itu buku terjemahan. Blas...di buku tersebut tidak ada tulisan yang menunjukkan buku tersebut terjemahan, bahkan daftar referensinya pun tidak ada.

Kok mau-maunya ya aku beli buku itu? 

Apalagi berpikir mencuri ide dari penulis negeri sendiri. Jangan sampai deh. Meski mungkin tidak ketahuan. Tidak deh.

Begitulah inti dari tulisan 7 dosa (seorang) penulis. Banyak kekurangan tentunya, Tapi tunggu saja eposide tulisan The Seven Deadly Sins yang lain. Nunggu ada ide dan waktu ya....
Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 5:15 AM
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...