Membaca Nyai Dasimah versi S.M. Ardan, membuat luka di hati saya agak terobati. Anggapan Dasimah, sebagai perempuan yang "doyan harta", lupa dengan darah pribuminya sedikit sirna. Demikian juga dengan sosok Samiun yang dalam versi aslinya menggunakan guna-guna, memanfaatkan kekayaan Nyai Dasimah juga sedikit sirna.
Apalagi yang melakukan guna-guna adalah seorang haji, Haji Salihun. Dalam pandangan saya, itu suatu alur cerita yang ngawur. Tidak memahami nilai-nilai agama, khususnya Islam. Jelas, dalam versi-nya S.M. Ardan, tidak ada guna-guna. Bahkan ketika Samiun meminta sejenis pelet dan sebagainya, ditolak mentah-mentah oleh Haji Salihun. Bahkan selalu menasihati Samiun menjadi orang yang benar.
Nyai Dasimah yang datang sendiri kepada Samiun. Dia terpanggil hati nuraninya untuk meninggalkan tuannya (suami Inggrisnya), karena jenuh dan sangat kecewa dengan kehidupannya selama ini. Tinggal di gedung, kesepian, hanya melayani keinginan seksual semata dari tuan Inggris itu, Tuan Edward William.
Dasimah adalah sosok yang punya hati nurani untuk tinggal di kampung, berkumpul dengan para pribumi lain. Tak perlulah, dia menjadi korban pelet dari Samiun. Ataukah anggapan Samiun yang menganggap Nyai Dasimah secantik Cleopatra maupun Ken Dedes yang menggetarkan hati Ken Arok, ketika tersingkap betisnya. Bagi saya, sangat berlebihan lah.
Memang diakui bahwa Samiun mempunyai istri yang kerjanya hanya menghabis-habiskan uang. Tetapi apakah sudah sedemikian gilakah istri Samiun itu, bernama Hayati, ikut melakukan rencana yang jahat untuk menghabiskan harta Nyai Dasimah. Sehingga dia rela dimadu. Termasuk juga, posisi Ibu Samiun, yang sama-sama bersepakat dengan anak dan menantunya, menjebak Nyai Dasimah demi hartanya. Jujur saja, rasa ke - Indonesia - an saya merasa terhina. Benarkah dalam kondisi terjajah (sesuai seting cerita tersebut), ada orang kampun yang berpikir dengan penuh intrik dan tipu muslihat?
Kembali kepada Dasimah. Di dalam kehidupannya dengan Tuan Edward, Nyai Dasimah ibaratnya hanya sebagai pemuas semata. Tidak diperbolehkan dia bergabung dengan teman-teman suaminya tersebut. Dibiarkan dia dalam kebodohan. Yang penting segala kebutuhannya terpenuhi. Khususnya terkait dengan harta benda. Waktu terus berjalan, dan sisi keperempuanan Nyai Dasimah semakin terusik dengan keadaannya. Kebahagiaan semu. Kebahagiaan palsu, yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun, apalagi ketika bertemu dengan Samiun.
Di samping itu, darah pribumi masih segar mengalir pada dirinya. Kerinduan kepada kampung halamannya, kerinduan dengan orang-orang yang sebangsa dengannya. Senasib dengannya. Membuat Nyai Dasimah harus meninggalkan segala gelimang harta. Memutuskan pergi. Lepas dari kehidupannya sebagai bini dari seorang Tuan Inggris.
Entah apa nasibnya berikutnya, apakah akan bahagia atau mati secara tragis, Setidaknya mati dengan lepas menjadi gundik dari seorang bangsa asing.
No comments:
Post a Comment