Bahasa Indonesia vs Bahasa Prokem
Meski menggunakan judul "Bahasa Indonesia vs Bahasa Prokem", bukan berarti dalam tulisan ini akan melawankan kedua bahasa tersebut. Dalam tulisan ini lebih memfokuskan pada sejauh mana bahasa prokem akan mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia.
Menurut Wikipedia, bahasa prokem atau bahasa gaul adalah ragam bahasa Indonesia nonstandar yang lazim digunakan di Jakarta pada tahun 1970-an yang kemudian digantikan oleh ragam yang disebut sebagai bahasa gaul.
Dalam perkembangannya sekarang, bahasa prokem atau bahasa gaul tersebut terus bertambah banyak dengan berbagai variasinya. Kata-kata tersebut bisa dari kata-kata daerah yang dipelesetkan maknanya, kata-kata yang dibunyikan tidak sempurna ("dicadelkan"), singkatan-singkatan ataupun dengan mengubah susunan huruf (vokal dan konsonan) sehingga terdengar bunyi baru yang unik dan lucu.
Penggunaan istilah-istilah gaul tersebut, makin marak dilakukan melalui sms, jejaring sosial (yahoo mesenger, facebook, twitter), bahkan telah ada saat trend chatting menggunakan MIRC.
Contoh kata-kata yang sering dipakai : begichu/begicyu, meneketehe, alay, ember, bonyok, bispak, jablay, belah duren, dan lain-lain.
Dalam bentuk singkatan, misalnya : ttdj (hati-hati di jalan), ttsandora (hati-hati kesandung orang), JK (just kidding), BTW (by the way), NP (no problem), ATM (at the moment), dan lain-lain.
Penggunaan istilah-istilaah gaul tersebut tidak selamannya bisa dipakai. Misalnya, akan tampak aneh ketika seseorang memulai inbox atau PM (private message) dengan menggunakan kata-kata asl pls. Istilah asl pls (age sex location please), yang umum diungkapkan pertama kali ketika berkenalan melalui sarana MIRC. Penggunaan kata tersebut pada saat sekarang ya sudah tidak lazim, karena pengguna bisa langsung dilihat profilnya.
Bahasa prokem atau bahasa gaul tersebut tidak bisa tidak memang ikut mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia.
Pertama, penggunaan istilah-istilah prokem dalam komunikasi keseharian para remaja semakin banyak. Hal ini langsung atau tidak langsung akan menggantikan istilah-istilah yang lazim dalam bahasa Indonesia.
Kedua, penggunaan istilah-istilah prokem oleh kalangan public figure (guru, kyai, pemimpin daerah, artis, dll) dengan maksud untuk meningkatkan efektivitas komunikasi maupun agar dianggap sebagai figur yang "gaul".
Meskipun demikian, penulis tidak terlalu khawatir dengan fenomena tersebut.
Pertama, istilah-istilah tersebut jumlahnya terbatas dan digunakan dalam wilayah yang terbatas.
Kedua, sebagai sebuah trend, fenomena tersebut hanya bertahan ketika belum muncul istilah-istilah baru.
Munculnya istilah baru banyak dipengaruhi oleh teknologi yang berganti silih berganti. Di samping perkembangan media (terutama televisi), yang biasanya memunculkan tren istilah baru melalui pembawa acara maupun artis-artis "gaul"
Perdebatan penggunaan istilah-istilah prokem atau gaul ini pun di dunia maya tidak ada henti-hentinya. Menurut hemat penulis, munculnya istilah tersebut tidak perlu didramatisir/dibesar-besarkan. Dari sisi pengajaran bahasa, justru menjadi tantangan bagi kalangan pendidikan untuk bisa menjadikan bahasa Indonesia sebagai salah satu pelajaran yang lebih menyenangkan.
Dari sisi perkembangan bahasa Indonesia sendiri, bisa dijadikan sebagai khazanah untuk menambah peristilahan baru yang sekiranya sebelum ini belum termuat. Hal ini tentunya membutuhkan kajian yang lebih mendalam lagi.
Analogi dengan perkembangan dalam dunia satra ada istilahnya roman picisan, yang dianggap sebagai karya yang terpinggirkan meskipun roman ini sangat laku di kalangan kaum "awam". Khas dengan harganya yang murah, kertas buram, bahkan stensilan. Tetapi, roman tersebut bisa dianggap sebagai genre baru dalam kesastraan Indonesia.
Demikian juga, dengan istilah-isilah prokem atau gaul yang banyak digunakan dalam naskah-naskah teenlit (majalah, cerpen maupun novel) sebagai fenomena yang wajar terjadi. Bukan bermaksud menyaingi naskah-naskah yang "berat" dengan full "EYD", tetapi lebih sebagai media komunikasi yang ampuh untuk menjaring komunitas kaum mudah.
Yang penting, kita harus selalu mendudukkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Yang salah satu fungsinya digunakan sebagai bahasa resmi dalam pendidikan, acara kenegaraan dan sebagainya.
Selalu bersikap positif dan berhati-hati sebagai kunci dalam mensinergikan bahasa prokem dengan bahasa Indonesia. Seandainya tidak mungkin terjadi sinergi, setidaknya tidak perlu ada pertentangan antara keduanya yang justru tidak sesuai dengan tujuan awal suatu bahasa, yaitu sebagai alat komunikasi.
No comments:
Post a Comment