Monday, August 6, 2012

REVIEW PUISI ESAI “SAPU TANGAN FANG YIN”

NASIONALISME PEREMPUAN YANG TERKOYAK
REVIEW PUISI ESAI “SAPU TANGAN FANG YIN”

Denny JA, The King Maker, bukan hanya menggebrak dunia politik dan bisnis, tapi juga siap mencengkeram dunia sastra lewat puisi esainya. Di dalam puisinya yang panjang, dipenuhi dengan catatan kaki dari berbagai pemberitaan di media, yang menunjukkan bahwa apa yang dituliskan berdasarkan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Isu-isu tentang diskriminasi dikemas dengan apik dalam bentuk puisi-puisi panjang yang sarat makna, menggetarkan kalbu, dan terus mengikat pembacanya.
Membaca salah satu puisi yang berjudul “Sapu Tangan Fang Yin” dari buku “Atas Nama Cinta”, membuat hati terasa pedih. Menahan air mata tidak menetes. Terbayang dengan jelas seorang wanita berkulit putih, turunan Tionghoa yang telah kehilangan gairah hidupnya. Kebencian yang mendalam terhadap dunia dan kebencian terhadap dirinya sendiri.
Terimalah kenyataan apa adanya!
Berdamailah dengan masa lalu.
Begitulah nasihat yang diberikan seorang psikolog pada Fang Yin. Sebuah kata-kata lugas yang sulit untuk dipaktekkan untuk menjadi Fang Yin yang baru.
Sebagai korban kerusuhan Mei 2008, Fang Ying patut merasa trauma. Fang Yin dan keluarganya tidak memahami politik maupun militer. Bagi mereka di Indonesia adalah tempat untuk mencari rezeki. Mereka tidak bisa memahami, bagaimana gelombang huru-hara yang menuntut Suharto turun mengimbas pada penghancuran etnis mereka.
Teriakan : Bakar! Bakar! Oleh sekelompok orang yang berbadan tegap dan gagah berubah menjadi Bakar Cina! Bakar Cina!
Fang Yin salah seorang gadis turunan Tionghoa, mahasiswi, menjadi korban kebiadaban sekelompok orang yang digambarkan bertubuh tegap dan gagah tersebut.
Pintu kamar Fang Yin didobrak, masuklah lima pria
Bertubuh tegap – ke ranjang mereka menyeretnya.
…………………………….
Bagaikan sekawanan serigala mereka.
Seseorang memegang kaki kirinya
Seorang lagi merentang kaki kanannya
Yang lain menindih tubuhnya.
Wahai, terenggut sudah kehormatannya!
Yang lain bersiap menunggu giliran.
Fang Yin kehilangan ketidaksadaran. Di rumah sakit, perlahan Fang Yin mulai tersadar. Dan mengingat apa yang dialaminya, Fang Yin menjerit sekeras-kerasnya, sehingga seisi rumah sakit pun mendengarnya.
Sapu tangan pemberian Kho, pacarnya,  ketika menjenguknya di rumah sakit, setia menyertai.  Sapu tangan yang menampung semua air mata Fang Yin, bahkan seperti sebuah diary baginya. Seminggu kemudian Fang Yin dan keluarganya pindah ke Amerika.
Kini tiga belas tahun setelah tragedi Mei 1998, Indonesia kembali stabil. Keturunan Tionghoa pun mendapat hak dan kedudukan yang layak. Beberapa menjadi menteri, kesenian barongsai, agama konghucu, koran berbahasa Cina, perayaan imlek mendapat tempat di Indonesia. Sapu tangan Fang Yin yang sudah tidak putih, pun telah menjadi diary-nya selama tiga belas tahun.
Ayah Fang Yin pun kembali ke Indonesia. Masa lalu yang kelam tidak bisa menghilangkan kecintaan dia pada tanah airnya. Dia senantiasa mewanti-wanti,
Fang Yin, kau anak Indonesia sejati
Jangan pindah menjadi warga lain negeri
Berbagai cara dilakukan ayahnya agar Fang Yin mau kembali ke Indonesia. Tetapi Fang Yin bersikeras. Fang Yin memilih tinggal di Amerika sebagai negara yang modern, mengagungkan kebebasan dan penuh perlindungan hukum. Fang Ying benci pada Indonesia karena dia membenci banyaknya kekerasan yang terjadi.
Kemarahan Fang Yin perlahan  mulai mereda. Dengan banyak belajar, membaca berbagi buku,  seperti filsafat, sastra, agama dan buku, dia mulai bisa merasakan derita panjang masa silamnya melezatkan sikap hidupnya.
Dia berkali-kali telah mencoba membakar sapu tangan pemberian Kho, tetapi gagal karena keraguan masih tersimpan. Sampai akhirnya, tanpa pikir panjang ia bakar sapu tangan itu. Derita yang dialaminya pun hilang. Termasuk rasa cinta pada Kho dan  kecemburuan pada Rina, sahabat setia yang menjadi istri Kho. Fang Yin terlahir kembali menjadi sosok yang baru.
Air mata menetes mengiringi api,
Sapu tangan tak ada lagi.
Ia kini berhasil berdamai dengan masa silam
Ia kini berhasil menjadi Fang Yin yang baru.
Fang Ying kembali ke Indonesia. Rindunya membara. Ia ingin Indonesia seperti dirinya agar bisa menang mengalahkan masa lalu.
Puisi esai yang berjudul “Sapu Tangan Fang Yin”, tersebut tidak sekedar bicara derita seorang gadis turunan Tionghoa sebagai korban diskriminasi. Tetapi sarat dengan nilai nasionalisme yang tinggi.  Seperti yang dikatakan oleh ayah Fang Yin
Amerika hanyalah tempat sementara untuk singgah
Tapi kita lahir di Indonesia, jadi mati sebaiknya di sana
Terkoyaknya dia sebagai perempuan merupakan luka yang akan terbawa sepanjang hidupnya. Dan saat dia memang kembali ke Indonesia, semuanya telah berubah. Siapa yang peduli dengan dirinya sebagai korban? Haruskah dia berterima kasih pada Denny JA, yang telah memberikan solusi untuk membakar sapu tangan pemberian kekasihnya, Albert Kho. Atau justru marah karena Denny JA, mengingatkan kembali peristiwa tragis yang dialaminya.
Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 4:24 PM

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...