Thursday, October 22, 2015

Pameran Buku bukan Sekedar Dagang Buku : Catatan Frankfurt Book Fair 2015

Pameran Buku bukan Sekedar Dagang Buku : Catatan Frankfurt Book Fair 2015
Pameran Buku bukan Sekedar Dagang Buku, begitu kesimpulan yang bisa diambil dari Frankfurt Book Fair seperti  dikutip dari wawancara dengan Goenawan Muhamad selaku Ketua Komite Pelaksana Tamu Kehormatan Frankfurt Book Fair 2015 di Jerman. Untuk lebih lengkapnya baca harian Suara Merdeka (18/10/2015.

Dalam Frankfurt Book Fair 2015, Indonesia berkesempatan menjadi tamu kehormatan. Suatu prestasi yang membanggakan. Indonesia dalam anggapannya Goenawan Muhamad, sebuah negara yang tidak terlalu dikenal di Eropa. Dikenal pun bukan oleh karya sastra atau prestasi yang lain. Tetapi oleh tsunami Aceh, ekspor asap, tarian-tarian eksotis dan hal-hal lain. Memang kehadiran perwakilan ke sana lebih membawa visi ke Indonesian ketimbang mendengarkan berbagai sindiran/komentar-komentar negatif tentang Indonesia. Tentunya lewat karya-karya sastra yang bermutu tinggi.

Tidak dapat dipungkiri, akan menjadi kebanggaan ketika sebuah karya sastra menjadi laris manis. Apalagi terjual habis bahkan banyak pesanan ketika berada di pameran. Tugas sastrawan adalah menulis buku. Sedangkan mencarikan pasar adalah tugas utama penerbit. Di dalam kanca internasional, apalagi bagaimana sebuah karya diterjemahkan ke banyak bahasa asing. Tapi sekali lagi itu lebih banyak pada urusan penerbit.

Di stan milik Indonesia banyak buku yang mulai atau sudah dilirik oleh penerbit luar. Seperti Esai-esai Goenawan Muhammad (Faith in Writing, Forty Years of Essays) yang telah diterbitkan Ridge Book - Singapora. Manusia Harimau (Eka Kurniawan) dari penerbit Kompas-Gramedia yang sudah diterbitkan dalam bahasa Inggris. Demikian juga Gadis Kretek  (Ratih Kumala) oleh penerbit Jerman, Pulang (Leila S Chudori) dalam bahasa  dan Belanda dan masih banyak lagi. Kalau karyanya Adrea Hirata ya..ndak usah ditanya lagi ya. Kalau karyanya Ahmad Tohari "Ronggeng Dukuh Paruk" ada sudah diterbitkan dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Demikian juga dengan NH Dini tentunya.


Bagaimana dengan pameran buku di Indonesia?
Menyenangkan dan menyedihkan.
Menyenangkan karena dalam pameran tersebut kita dimanjakan dengan berbagai buku..berbagai tema tanpa repot-repot menyusuri berbagai toko. Puluhan..bahkan ratusan penerbit ada di dalam ruang pameran tersebut. Lebih-lebih harga yang ditawarkan cenderung jauh lebih murah ketimbang beli di toko.
Meskipun kadang menjadi pemikiran tersendiri...pameran buku di Indonesia sebenarnya pameran atau sekedar bazar buku. Buku-buku yang tidak laku kemudia dikasih diskon..yang penting bagaimana caranya agar terjual dengan lebih cepat dan lebih banyak.
Padahal yang namanya pameran, ya setidaknya memamerkan produk-produk yang berkualitas. produk-produk yang menjadi unggulan, dalam hal ini unggulan dari penerbit buku.

Ya..lain kali perlu dilihat lagi apakah kegiatan tersebut sebagai pameran atau bazar buku. Kalau memang judulnya bazar buku ya...memang harus lebih murah. Namanya saja bazar. Tetapi kalau namanya Pameran Buku ya setidaknya ada talk show mengenai peluncuran buku..ataupun ada pajangan buku-buku berkualitas. Kualitas loh..bukan harga murah yang jadi acuan.

Ya, itulah hal yang menyedihkan. Berharap menonton pameran buku-buku bagus tapi adanya penerbit/orang yang jualan buku. Bahkan di sela-sela itu ada jualan lain, seperti baju, minyak wangi, mainan anak-anak dan tetek bengek jualan lain.

Ya..dinikmati saja. Antara pameran dan orang mencari rezeki.






Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 9:00 AM

Wednesday, October 21, 2015

Lebih Dekat dengan Chairil Anwar

Siapa yang tidak mengenal Chairil Anwar? Kalau tidak mengenal, malulah kalau mengaku sebagai penyair. Pelajar SMP/SMA saja, kalau tidak mengenal Chairil Anwar itu juga lucu. Yang salah siapa? Guru Bahasa Indonesianya atau dasar anaknya. Itu waktu saya masih SMP di era 90 an. Kalau sekarang entahlah..

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Juli 1922 dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949. Sangat muda ya, 27 tahun hidup di dunia. Suratan takdir, persis dalam sajaknya Sekali berarti setelah itu mati atau Aku mau hidup seribu tahun lagi. Kehidupan yang sebentar jauh lebih bermakna ketimbang hidup lama tetapi tidak bermanfaat. Apa daya ingin hidup yang jauh lebih lama, tapi takdir bicara yang berbeda.

Mengapa Chairil Anwar begitu terkenal? Ada yang mengatakan karena pemberitaan. Atau karena begitu ditonjolkan dalam buku-buku teks bahasa Indonesia. Bagi saya, semangat dalam setiap sajak-sajaknya itu yang membuat menonjol. Pilihan kata-kata yang indah..juga menghujam sanubari.
Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia yang diterbitkan oleh Titian Ilmu 2004, dituliskan Chairil Anwar terkenal karena dua hal.
Lebih dekat dengan Chairil Anwar
Pertama, ia menulis sajak-sajak bermutu tinggi dengan jenis sastra yang menyandang suatu ideologi atau pemikiran besar tertentu seperti perang, revolusi dan sebagainya. Satra yang seperti itu disebut Sastra Mimbar, yaitu jenis sastra yang secara tematis erat hubungannya dengan keadaan  dan persoalan zaman. Misalnya pada karyanya yang berjudul Aku, Catatan Tahun 1946, Perjanjian dengan Bung Karno serta Kerawang Bekasi.
Kedua, ia juga menulis sajak yang menjadi bahan perenungannya yang lahir dari persoalan-persoalan keseharian. Karya jenis ini disebut sebagai Sastra Kamar. Misalnya dalam karyanya Senja di Pelauhan Kecil, Derai-derai Cemara, dan Penghidupan.



Dunia sastra merupakan pilihan hidupnya. Dan dia tidak mau setengah-setengah. Sebagai sastrawan "jalang" ternyata dia selalu menggunakan pakaian yang rapi, baju yang disetrika licin. Kesungguhan dalam menentukan pilihan hidupnya sebagai satrawan lengkap dengan suka dukanya menjadi tauladan bagi kita semua.
Sekali berarti setelah itu mati ...Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Nama Chairil Anwar pun sampai sekarang masih dipakai oleh Dewan Kesenian Jakarta sebagai anugerah kepada sastrawan dan penyair yang disebut Anugrah Sastra Chairil Anwar. Mochtar Lubis dan Sutardji Calzoum Bachri telah berkesempatan menerima anugrah tersebut.

Chairil Anwar... Sang pendobrak dan pelopor Angkatan 45 Kesusastraan Indonesia.
Karya-karyamu akan selalu hidup sampai akhir zaman.

Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 8:16 AM

Tuesday, October 20, 2015

MUNDUR SELANGKAH DEMI KEDAMAIAN

Mundur selangkah demi kedamaian sengaja kujadikan judul untuk tulisan ini. Istilah lainnya adalah mengalah..tidak ingin dianggap menang..tidak ingin mendominasi dll.
Bagi saya hal ini menjadi sangat penting ketika dalam menjalin hubungan dengan pihak lain, terkadang harus bergesekan. Apalagi bertemu rekan/teman yang pada dasarnya punya karakter yang keras.

Tapi mengalah di sini, bukan berarti harus mengorbankan prinsip-prinsip hidup. Seringkali yang kita perdebatkan atau kita ributkan bukanlah hal-hal yang esensial/penting. Tetapi hanya hal yang sepele. Cuma karena ego yang muncul, emosi ikut campur tangan..sesuatu yang sepele tersebut seolah-olah menjadi sangat penting..sangat besar..dan patut untuk diperjuangkan.

Misalnya kita punya kesepakatan bahwa kantor yang ditempati harus dicat. Dicat itu penting..silakan diperdebatkan..apalagi sudah bertahun-tahun tembok dibiarkan begitu saja. Cat sudah memudar. Bercampur dengan lumut-lumut yang mulai menempel.

Tetapi untuk warnanya..mau kuning..pink..hijau muda..hijau tua..biru..merah tua..dan sebagainya. Tidak layaklah harus diperdebatkan sehingga menimbulkan perpecahan. Atau ketika ternyata tembok tersebut dicat warna yang tidak kita sukai...kebetulan hasilnya norak. Tidak perlulah kita olok-olok atau merasa benar..."Coba kalau kemarin dikasih warna pilihanku". Sekali lagi tidak perlulah.

Contoh yang lain. Diputuskan akhir tahun mau mengadakan piknik/refresing. Cukup itu yang diperdebatkan. Refreshing atau tidak. Bolehlah sedikit berdarah-darah. Misalnya bagi yang kontra beralasan..buat apa refreshing mending uangnya buat yang lain. Atau mungkin mengatakan buat apa refreshing, toh setiap saat kita selalu refreshing. Kerja santai. Tanpa ada tekanan. Prestasi kerja juga biasa-biasa saja. Apa yang di-refreshing-kan..dan lain-lain. Tetapi kalau memang sudah disepakati diadakan refreshing tidak perlu lah diributkan. Refreshingnya ke mana? Pakai baju apa? Keluarga boleh ikut atau tidak...Nah pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak perlulah diperdebatkan mati-matian.

Misalnya salah satu teman, misalnya namanya Anto sampai mengatakan, kalau perginya ke Bandung ikut. Kalau ke Yogya ya paling tidak ikut. Atau kalau anak istri tidak boleh ikut..ya saya tidak mau ikut.
Sialnya..pihak yang lain pun berpikiran yang tidak jauh beda..alias ngotot. Tidak mau ikut ya sudah. Kita juga tidak memaksa. Nah mendengar kata-kata tersebut, tentunya  teman kita, si Anto tambah panas.

Legawa..itu kata kuncinya. Mengalah. Untuk menghadapi hal-hal seperti itu ya..harus ada yang mengalah. Entah si Antonya atau teman yang lain. Karena bukan itu yang menjadi masalah. Bukan itu yang harus diributkan.

Dan memang..bukan hal yang mudah untuk mau mundur selangkah demi kedamaian bersama. Bisa karena masalah gengsi...gengsi dianggap kalah bicara..gengsi dianggap tidak berwibawa...gengsi karena pendapatnya tidak diakui dan seambreg kegengsian lain.

Toh ketika ada masalah...orang yang ribut-ribut tersebut cenderung lepas tangan..lepas tanggung jawab. Kita ambil contoh yang pertama, masalah mengecat. Ternyata cat yang dibeli tumpah..akhirnya kurang. Saya yakin kok..tipe-tipe yang meributkan warna paling bisanya bikin ribut...tidak akan mau mencari solusi..kelihatannya mencari solusi tapi ya hanya ingin ribut saja.

Atau menghadapi kejadian kedua, tiba-tiba agen bus yang dipesan melarikan diri. Saja jamin..orang-orang yang tidak legowo..tidak mau mengalah bisanya hanya ribut saja.

Ya..ini hanyalah pengamatan saya..boleh pas..boleh tidak. Yang penting mulai sekarang diniatkan..buat apa kita unggul atau kelihatan menang untuk hal-hal yang tidak esensial...tapi mengorbankan kenyamanan bersama.
Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 4:02 AM

Friday, October 16, 2015

MEMBERI TANPA HARUS MERASA DI ATAS

Memberi tanpa harus di atas kupilih sebagai judul tulisan ini. Ada kalanya kalau kita sudah memberikan sesuatu pada orang lain, kemudian kita merasa lebih posisinya lebih tinggi dari yang kita beri. Inilah awal penyakit bagi orang-orang yang biasa di atas.

Ada yang nyinyir ketika kita memberikan sesuatu barang atau katakanlah uang kepada orang lain yang kurang mampu. Sebenarnya mungkin mampu, tetapi ketika orang tersebut bekerja dengan diri kita dan dia posisi (baca = jabatan) jauh di bawah kita, maka kadangkala ketika ada rezeki yang kita dapatkan dia pun kecipratan. Kok bisa ada yang nyinyir. Yah..karena tindakan kita dianggap tidak mendidik. Memberi ikan bukan kail. Memanjakan dan seabreg lainnya.

Dan celakanya, yang kadang nyinyir tersebut sama-sama punya jabatan yang setara atau kebetulan berada pada posisi yang memberi. Cuma ya itu penyakitnya. Ketika punya rejeki nomplok...entah bonus maupun uang kaget lainnya..memang berbagi rezeki. Yang jadi masalah ketika memberikan sebagian rezekinya, kemudian merasa mempunyai posisi yang lebih tinggi. Merasa punya hak untuk mengendalikan. Atau menjadi suka memerintah..katakan ingin lebih dilayani.

Kalau suka memberi kemudian merasa di atas bukankah bisa menjadi penyakit baru, yaitu kesombongan. Kesombongan karena merasa lebih tinggi. Merasa punya hak terhadap tenaga atau waktu orang yang diberi.

Kalau memberi ya sudah. Kasih sebanyak-banyaknya. Kasihkan apa yang mereka butuhkan..bukan fokus pada apa yang kita inginkan. Misalnya mereka butuh uang. Alih-alih kita menginginkan memberikan barang atau makanan ternyata bukan itu yang dibutuhkan mereka. Tidak bolehlah kita menjadi tinggi hati, lantas mengatakan. "Saya kan pihak pemberi. Terserah kalau saya mau mengasih apa?" Bukankah memberikan sesuatu yang mereka butuhkan akan lebih bermanfaat dan lebih membahagiakan mereka?

Lepas dari pada itu, ketika memberi biarkan tangan kita memang di atasa. Tetapi bukan bertahan di atas, sedangkan yang diberi tangannya di bawah. Apalah artinya pepatah tangan di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Memberi lebih baik dari yang menerima. Tetapi ketika kita berada di atas, mulailah dipikirkan bagaimana agar tangan mereka yang dalam posisi diberi bisa ikut ke atas, bahkan sampai akhirnya bisa sejajar dengan kita.

Saya yakin, mereka pun tidak akan canggung kepada kita. Atau merasa hutang budi. Atau merasa rendah ketika berhadapan dengan kita. Yang di atasa usahakan untuk mau rendah hati turun. Jangan paksakan yang di bawah untuk naik. Kita yang di atas lebih punya kendali. Untuk turun tinggal tanggalkan rasa tinggi hati..rasa memiliki hak mereka..rasa menguasai waktu dan tenaga mereka. Biarkan semua berjalan alamiah.

Berilah dan teruslah memberi tanpa berpikiran bahwa kita berada di pihak yang di atas.


Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 3:15 PM
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...