Monday, January 26, 2015

7 Dosa (Seorang) Penulis

7 Dosa (Seorang) Penulis

Sumber : wikipedia.org
Ikut-ikutan The Seven Deadly Sins, kami juga ingin menuliskan judul 7 dosa (seorang) penulis. The Seven Deadly Sins merupakan klasifikasi sifat buruk yang cenderung akan dilakukan manusia. Ketuju dosa tersebut adalah  : murka, nafsu, rakus, serakah, malas, dengki/iri hati, dan sombong.


1. Menulis dengan kemarahan

Pernahkah menulis dengan kemarahan, Puaskah? Atau malah tambah marah. Mungkin ada saking marahnya malah bisa lancar menulis. Berpuluh-puluh lembar tulisan berisi ungkapan kemarahan terhadap suatu kejadian/peristiwa.
Sadarkah buat siapa dia menulis. Apakah menulis dengan otak panas akan menjadi tulisan yang obyektif. Apakah bukan sekedar menulis dari satu sudut pandang saja. Sudut pandang kemarahan tentunya.

Ya. Aku juga beberapa kali mengalami. Entah marah karena diputus pacar. Atau marah di tempat kerja. Dalam kondisi marah bisa lancar menulis berlembar-lembar. Entah dalam bentuk puisi, curhata atau apa. Tapi yang jelas tidak bisa dalam bentuk artikel ilmiah. Ya, bagaimana mungkin, ketika kondisi otak kanan begitu dominan berharap mendapatkan karya dari pikiran otak kiri.

Cobalah baca tulisan-tulisan Anda yang sedang marah, Bacalah seminggu, sebulan, atau setengah tahun, bahkan sepuluh tahun kemudian. Apakah kita tertawa atau bersyukur. Untung tulisanku yang dulu tidak pernah saya kasihkan ke orang lain. Bisa malu deh. Atau bahkan menyesal karena tulisannya yang dulu hanya disimpan sendiri.

Hindarilah menulis dengan kemarahan. Kecuali Anda tidak mau.

2. Menulis tanpa peduli dengan pembacanya.
Terbayangkan menulis tentang kalkulus untuk anak SD? Ataupun menulis dengan bahasa yang gaul, acak-acakan di jurnal ilmiah? Ataukah menulis berita politik di tabloid kuliner?
Meskipun ketiga pertanyaan itu terasa dibuat-buat, tetapi maksudnya adalah kalau menulis lihatlah sasaran pembacanya. Menulis untuk karya fiksi berbeda dengan non fiksi. Sama-sama menulis non fiksi pun, akan berbeda jika disajikan untuk masyarakat awam dengan menulis untuk jurnal ilmiah.

Beda lagi tentunya, jika pembacanya bukan dari golongan manusia. Wah..menakutkan deh.
Yang jadi pegangan kunci adalah menulis tetap dengan bahasa yang baik dan benar. Tetapi gaya penulisan itu bermacam-macam, sesuai dengan tema maupun sasaran pembacanya. Dalam menulis naskah  nonfiksi, hindari penggunaan kata-kata yang konotatif. Kata-kata yang bermakna ganda. 
Beda halnya menulis untuk karya fiksi (cerpen ataupun novel), kalau melulu menggunakan kata denotatif, ya dijamin garing tulisannya. Bisa-bisa idenya juga garing.

Demikian juga, ketika kita menulis buku untuk siswa TK/PAUD, SD, SMP, SMA, S1. S2, S3 tentunya pun dengan gaya yang berbeda-beda. Belum lagi tulisan untuk masyarakat umum. Meskipun d daerah kampus (kost-kost an mahasiswa misalnya). Ya belum tentu mau membaca tulisan yang berat. Karena niat mereka membeli buku/majalah/surat kabar untuk mendapatkan informasi yang ringan.  Beda kan kalau diharuskan akan diujikan, pakai bahasa planet pun akan dipelajari.

 3. Menulis tanpa organisasi/kerangka
Maksudnya begini. Jangan sampai kita punya ide yang bagus, tetapi tidak dituliskan sesuai kaidah/format penulisan yang ditentukan. Dalam bentuk artikel pun, ada pembukaan, isi dan penutup, Ide sedahsyat pun akan ditertawakan orang, setidaknya dipandang sebelah mata, jika tidak menulis sesuai ketentuan. Misal langsung masuk isi dan penutup, bahkan pembukan tanpa isinya langsung penutup. Apalagi malah lupa judulnya. Mungkin juga kan lupa judul? 

Apalagi menulis buku, ya lengkapi dengan halaman judul, kata pengantar, daftar isi, daftar referensi (khususnya buku non fiksi). Daftar kata-kata penting/sulit atau glosarium juga perlu ditambahkan. Sesuaikan dengan kebutuhan. Tetapi harus lengkap isinya. Ibaratnya punya beli jam dinding, sebagus apa pun kalau tidak ada kaca penutup bahkan malah tidak ada jarumnya kan jadi gak lucu.

4. Menulis tanpa referensi
Menulis tanpa referensi. Wow, bagaimana hasilnya? Pasti orisinil. Iya, kalau bisa sih. Kalau tidak? Bisa-bisa isinya hanya cerita kesana-sini tidak ada isi. Tong kosong nyaring bunyinya, oceh sana-sini tak ada isi. Otak udang.......(liriknya Slank kalau bener loh).

Seperti tulisan ini, bagaimana kualitasnya. Miskin referensi itu salah satu hambatan penulis. Apalagi malas membaca. Contoh menulis postingan ini, idenya dari buku Jurus Maut Menulis Buku Best Seller dan googling tentang keterkaitan Spongebob dengan Seven Deadly Sins. Tetapi berhubungan mata mengantuk, dan isi dalam kepala ingin cepat dikeluarkan. Ya referensi-referensi saya tinggalkan. 

Dosa penulis yang fatal. Menulis tanpa referensi atau menulis tanpa mau baca referensi. Referensi dipakai tapi dengan sangat minim.

Saya yakin, penulis-penulis sekaliber Ahmad Tohari, Pramudya Ananta Tour, N.H Dini, Andre Hirata pun harus riset dulu sebelum membuat novelnya. Sedangkan kita, hanya berharap dapat ide dari langit dan menulis bak penulis kelas dunia. Boleh-boleh saja, saja asal kedalaman isi maupun mutu tulisan terjaga. Cuma hati-hati saja, ketika kita merasa apa yang ditulis orisinil, ternyata sudah banyak ditulis oleh orang lain.

5. Menulis asal-asalan
Menulis asal-asalan yang dimaksud di sini artinya asal menulis. Menulis tanpa ada konsep yang jelas, Menulis tanpa ada tema yang jelas. Menulis tanpa ada sasaran pembaca yang jelas. Menulis tanpa memperhatikan kaidah penulisan. Boro-boro mikir sintaksis maupun semantik. 

Menulis asal-asalan atau asal menulis itu salah satu ciri penulis yang malas. Entah malas menicil sehingga dikejar deadline. Malas membagi waktu sehingga sama, dikejar deadline. Malas membaca buku, malas menulis bahkan.

Malas menulis tetapi memaksa menulis, ya boleh-boleh saja. Tetapi jika kualitas tulisannya asal-asalan, wah rugi lahir batin. Pertama rugi karena menyakiti diri sendiri. Apa enaknya melakukan sesuatu karena dipaksa. Kedua tidak ada yang mau baca tulisannya.

Kalau memang jenuh, carilah kegiatan lain dulu untuk refreshing, Atau cobalah menulis tema yang belum pernah kita tulis sebelumnya, sebagai selingan. Baru ketika mood dah datang, kita hajar tulisan kita.

Banyak kok, buku/tulisan yang membahas kiat-kiat agar tetap menjaga mood menulis. Kiat-kiat agar tulisan diterima redaktur. Kiat-kiat menulis buku yang laris dan seterusnya.

Sekali lagi jangan menulis asal-asalan, takutnya malah mempermalukan diri sendiri.

6. Menulis tanpa mau diedit
Nah ini, penyakit/dosa yang sering saya lakukan. Menulis tanpa mau diedit. Alhasil dibaca beberapa hari kemudian ternyata tulisannya kacau. Ada kesalahan ketikan. Idenya tidak jelas. Tulisan tidak tersaji secara sistematik. Pembahasannya tidak mendalam, Terlalu terpaku pakai sudut pandang sendiri. Tidak adil dalam menulis (wah apa maksudnya ya?).

Ada beberapa alasan seorang penulis tidak mau diedit tulisannya, 
Pertama, menganggap tulisannya sudah sempurna. Tidak perlu campur tangan dari pihak lain. Tidak mau menerima kritikan. Intinya menganggap tulisannya sudah bagus banget.
Kedua, karena dikejar waktu. Dikhawatirkan kalau diedit, tulisannya tidak kelar. Ya..boleh saja alasannya. Tapi jangan menyesal kalau ada apa-apa nanti.
Ketiga, tidak percaya diri. Malu jika tulisannya diketahui orang lain. Apalagi oleh saudara, teman, tetangga atau siapapun yang kenal dengannya. Alasan yang masuk akal juga, tetapi tidak berlaku jika memang menulis untuk dikirimkan ke surat kabar/majalah/penerbit. Toh akhirnya memang buat dibaca orang lain. Ketimbang ketahuan salah nantinya, mending diedit/dibaca dulu deh. Tidak semua orang loh mau jadi editor.

7. Menulis dengan mencuri sumber lain
Plagiat adalah dosa yang harus dihindari. Dosa besar. Mending tidak menulis ketimbang mencuri ide orang lain. Kalau dulu waktu sekolah/kuliah sering begitu. Sekarang lupakan. Bisa-bisa kita mendapatkan karma. Tulisan-tulisan kita tidak ada yang mau baca.

Beberapa kali aku juga merasa dibohongi oleh penulis. Pada suatu ketika, aku beli buku yang kelihatan menarik. Bahkan bukan hanya sekali. Selang beberapa waktu kemudian, entah berapa bulan atau sekian tahun aku menemukan buku aslinya, dalam bahasa Inggris. Kecewa dong. Saya kira waktu itu mendapatkan buku bagus, ternyata hanya terjemahan yang diambil sebagian-sebagian. Artinya dalam buku aslinya tebal, tapi diambil separuhnya dulu kemudian dibuat 2 atau 3 edisi buku. Entah pakai istilah buku 1, buku 2, buku 3 dan seterusnya, Atau pakai istilah agak keren edisi beginner, edisi advance. Yakinlah jangan seperi itu, Kalau menerjemahkan tuliskan saja itu buku terjemahan. Blas...di buku tersebut tidak ada tulisan yang menunjukkan buku tersebut terjemahan, bahkan daftar referensinya pun tidak ada.

Kok mau-maunya ya aku beli buku itu? 

Apalagi berpikir mencuri ide dari penulis negeri sendiri. Jangan sampai deh. Meski mungkin tidak ketahuan. Tidak deh.

Begitulah inti dari tulisan 7 dosa (seorang) penulis. Banyak kekurangan tentunya, Tapi tunggu saja eposide tulisan The Seven Deadly Sins yang lain. Nunggu ada ide dan waktu ya....
Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 5:15 AM

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...