Saturday, October 20, 2012

Bahasa Indonesia vs Bahasa Prokem

Bahasa Indonesia vs Bahasa Prokem


Meski menggunakan judul "Bahasa Indonesia vs Bahasa Prokem", bukan berarti dalam tulisan ini akan melawankan kedua bahasa tersebut. Dalam tulisan ini lebih memfokuskan pada sejauh mana bahasa prokem akan mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia.

Menurut Wikipedia, bahasa prokem atau bahasa gaul adalah ragam bahasa Indonesia nonstandar yang lazim digunakan di Jakarta pada tahun 1970-an yang kemudian digantikan oleh ragam yang disebut sebagai bahasa gaul.

Dalam perkembangannya sekarang, bahasa prokem atau bahasa gaul tersebut terus bertambah banyak dengan berbagai variasinya. Kata-kata tersebut bisa dari kata-kata daerah yang dipelesetkan maknanya, kata-kata yang dibunyikan tidak sempurna ("dicadelkan"), singkatan-singkatan ataupun dengan mengubah susunan huruf (vokal dan konsonan) sehingga terdengar bunyi baru yang unik dan lucu.


Penggunaan istilah-istilah gaul tersebut, makin marak dilakukan melalui sms, jejaring sosial (yahoo mesenger, facebook, twitter), bahkan telah ada saat trend chatting menggunakan MIRC.
Contoh kata-kata yang sering dipakai : begichu/begicyu, meneketehe, alay, ember, bonyok, bispak, jablay, belah duren, dan lain-lain.
Dalam bentuk singkatan, misalnya : ttdj (hati-hati di jalan), ttsandora (hati-hati kesandung orang), JK (just kidding), BTW (by the way), NP (no problem), ATM (at the moment), dan lain-lain.

Penggunaan istilah-istilaah gaul tersebut tidak selamannya bisa dipakai. Misalnya, akan tampak aneh ketika seseorang memulai inbox atau PM (private message) dengan menggunakan kata-kata asl pls.  Istilah asl pls (age sex location please), yang umum diungkapkan pertama kali ketika berkenalan melalui sarana MIRC. Penggunaan kata tersebut pada saat sekarang ya sudah tidak lazim, karena pengguna bisa langsung dilihat profilnya.

Bahasa prokem atau bahasa gaul tersebut tidak bisa tidak memang ikut mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia.
Pertama, penggunaan istilah-istilah prokem dalam komunikasi keseharian para remaja semakin banyak. Hal ini langsung atau tidak langsung akan menggantikan istilah-istilah yang lazim dalam bahasa Indonesia.
Kedua, penggunaan istilah-istilah prokem oleh kalangan public figure (guru, kyai, pemimpin daerah, artis, dll) dengan maksud untuk meningkatkan efektivitas komunikasi maupun agar dianggap sebagai figur yang "gaul".

Meskipun demikian, penulis tidak terlalu khawatir dengan fenomena tersebut.
Pertama, istilah-istilah tersebut jumlahnya terbatas dan digunakan dalam wilayah yang terbatas.
Kedua, sebagai sebuah trend, fenomena tersebut hanya bertahan ketika belum muncul istilah-istilah baru.
Munculnya istilah baru banyak dipengaruhi oleh teknologi yang berganti silih berganti. Di samping perkembangan media (terutama televisi), yang biasanya memunculkan tren istilah baru melalui pembawa acara maupun artis-artis "gaul"

Perdebatan penggunaan istilah-istilah prokem atau gaul ini pun di dunia maya  tidak ada henti-hentinya.  Menurut hemat penulis, munculnya istilah  tersebut tidak perlu didramatisir/dibesar-besarkan. Dari sisi pengajaran bahasa, justru menjadi tantangan bagi kalangan pendidikan untuk bisa menjadikan bahasa Indonesia sebagai salah satu pelajaran yang lebih menyenangkan. 
Dari sisi perkembangan bahasa Indonesia sendiri, bisa dijadikan sebagai khazanah untuk menambah peristilahan baru yang sekiranya sebelum ini belum termuat. Hal ini tentunya membutuhkan kajian yang lebih mendalam lagi.

Analogi dengan perkembangan dalam dunia satra ada istilahnya roman picisan, yang dianggap sebagai karya yang terpinggirkan  meskipun  roman ini sangat laku di kalangan kaum "awam". Khas dengan harganya yang murah, kertas buram, bahkan stensilan. Tetapi, roman tersebut bisa dianggap sebagai genre baru dalam kesastraan Indonesia.

Demikian juga, dengan istilah-isilah prokem atau gaul yang banyak digunakan dalam naskah-naskah teenlit (majalah, cerpen maupun novel) sebagai fenomena yang wajar terjadi. Bukan bermaksud menyaingi naskah-naskah yang "berat" dengan full "EYD", tetapi lebih sebagai media komunikasi yang ampuh untuk menjaring komunitas kaum mudah.

Yang penting, kita harus selalu mendudukkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Yang salah satu fungsinya digunakan sebagai bahasa resmi dalam pendidikan, acara kenegaraan dan sebagainya.

Selalu bersikap positif dan berhati-hati sebagai kunci dalam mensinergikan bahasa prokem dengan bahasa Indonesia. Seandainya tidak mungkin terjadi sinergi, setidaknya tidak perlu ada pertentangan antara keduanya yang justru tidak sesuai dengan tujuan awal suatu bahasa, yaitu sebagai alat komunikasi.


 

Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 6:19 AM

Friday, October 19, 2012

Kilas Balik Peran dan Kedudukan Bahasa Indonesia

Kilas Balik Peran dan Kedudukan Bahasa Indonesia

Di era sekarang ini, bahasa Indonesia mengalami dua tantangan sekaligus. Tantangan pertama, berasal dari perkembangan bahasa Indonesia sendiri, sedang tantangan kedua berasal dari pesatnya perkembangan teknologi informasi dan teknologi.

Sebuah bahasa harus terus berkembang, jika ingin tetap bertahan menjadi pemersatu bangsa. Maraknya bahasa-bahasa gaul, slang, prokem menjadi tantangan tersendiri bagi perkembangan bahasa Indonesia. Belum lagi kecenderungan pada pelajar, tokoh masyarakat, politisi sampai kepada para pemangku kebijakan di negeri ini yang merasa bangga menggunakan bahasa asing (baca juga : bahasa Inggris). Berbagai pengajaran bahasa Indonesia yang terlalu berorientasi pada ujian nasional, menambah sederetan panjang tantangan-tantangan yang harus dihadapi.

Perkembanagan teknologi informasi dan teknologi, khususnya maraknya penggunaan handphone dan internet, menjadi tantangan tersendiri bagi perkembangan bahasa Indonesia. Di satu sisi penyebaran penggunaan bahasa Indonesia makin cepat. Dan di sisi lain, dalam penyebarannya, penggunaan bahasa Indonesia makin tidak terkontrol.

Kembali kepada pengertian bahasa, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat dalam bentuk lambang bunyi/ujaran. Bahasa Indonesia pun mempunyai fungsi sama, yaitu sebagai alat untuk memberi/menerima informasi bagi setiap orang. khususnya bagi bangsa Indonesia. Tujuan-tujuan yang lain, diantaranya : 1) tujuan praktis : sarana untuk menjalin interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari; 2) tujuan artistik : sarana untuk mengungkapkan keindahan (misalnya dalam bentuk puisi, cerpen, dan sebagainya); 3) tujuan filologis : sarana untuk mempelajari dan meneliti peninggalan tertulis; dan 4) tujuan ilmiah : sarana untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Kita juga perlu mengingat kembali sejarah Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Di samping sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa Negara.
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai : 1) lambang jati diri bangsa; 2) lambang kebanggaan bangsa; 3) alat pemersatu; dan 4) alat penghubung antar budaya dan antar daerah.
Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai : 1) bahasa resmi negara; 2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan; 3) bahasa resmi dalam hubungan tingkat nasional; dan 4) bahasa resmi dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam sejarahnya, bahasa Indonesia juga terus mengalami perkembangan.
Tahun 1933, terbitlah majalah Poedjangga Baroe yang dimotori oleh Sultan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane. Majalah tersebut mempunyai peran yang besar dalam rangka pembinaan bahasa Indonesia. Tidak aneh, jika pada zaman tersebut dianggap sebagai salah satu era pengembangan sastra, yaitu angkatan Pujangga Baru (angkatan tahun 30-an). Kongres bahasa Indonesia pertama kali di Solo, pada tahun 1938 menghasilkan tiga buah keputusan, yaitu : 1) mengganti Ejaan Van Ophuysen; 2) mendirikan Institut Bahasa Indonesia; 3) menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam Badan Perwakilan. Pada masa penjajahan Jepang (1942 - 1945), bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi dalam administrasi pemerintahan dan sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan. Hal ini dilatarbelakangi kebencian Jepang pada pemakaian bahasa Belanda, di samping karena bahasa Jepang belum dimengerti oleh bangsa Indonesia.

Perkembangan bahasa Indonesia terus berlanjut, dengan penetapan bahasa Indonesia secara resmi sebagai bahasa negara (Bab XV, pasal 36 UUD 1945).  Dibentuknya lembaga pembinaan bangsa, pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), serta berbagai kongres Bahasa Indonesia yang menhasilkan berbagai keputusan yang mencakup bidang bahasa, sastra sampai ke pengajaran bahasa dan sastra.

Belajar dari perkembangan bahasa Indonesia di atas, kita bisa merasakan betapa besar perjuangan para pendahulu-pendahulu kita, khususnya para pejuang bidang bahasa dan sastra Indonesia. Dan sudah sewajarnya jika kita berkewajiban untuk senantiasa  untuk bangga berbahasa Indonesia, baik dalam pergaulan formal maupun tidak formal, di dalam dunia nyata atau maya.

Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan teknologi, yang sarat dengan munculnya istilah-istilah yang tidak lazim (tidak sesuai dengan EYD), tidak membuat kita menjadi ikut-ikutan latah menggunakan bahasa tersebut. Justru dengan kemajuan teknologi informasi dan teknologi, kita makin leluasa dalam pengembangan/penyebaran bahasa Indonesia yang benar melalui handphone dan internet (blog, facebook, twitter dan media lain).

Terus berkarya dan bangga berbahasa Indonesia!





Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 7:32 PM

Sunday, October 14, 2012

Dari Menulis Status Hingga Menulis Buku

Dari Menulis Status Hingga Menulis Buku

Menulis itu gampang. Bahkan benar-benar gampang. Begitu kata Arswendo Atmowiloto. Kalau Hernowo mengatakan bahwa menulis ibaratnya ngomong. Tentunya, ada yang menyetujui kedua pendapat tersebut dan ada yang tidak. Kalau mengarang atau asal menulis mungkin gampang. Tapi untuk menulis hal yang serius tentu membutuhkan riset maupun kemampuan khusus. Dan itu bukanlah hal yang gampang.

Dengan perkembangan teknologi informatika yang begitu pesat, praktek menulis terasa lebih mudah. Tinggal membuka browser, surfing sana-sini, dibaca, dihubung-hubungkan, kemudian jari-jari tangan menari-nari di atas keyboard. Klik sana dan sini, akhirnya dihasilkan tulisan yang dimuat di blognya. Atau mungkin membaca artikel di berbagai blog/website, kemudian menemukan tulisan yang menarik. Kemudian di copy dan paste-kan di wall kita. Jadilah status baru di facebook.

Wow. Tidak semudah itu!
Bagaimana caranya menuliskan sebuah artikel atau bahkan buku? Tentu butuh waktu yang lama. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup tidak mampu menyelesaikannya. Pengalaman saya , dengan bermodalkan selancar di internet ditambah dengan sedikit kemampuan menerjemah, banyak tugas-tugas kepenulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu yang cepat. Misalnya, ada tenggat waktu satu minggu untuk menulis, selama 3 - 4 hari digunakan untuk mencari bahan-bahan sambil melakukan brainstorming. Baru pada 1 - 2 sebelum deadline mulai menulis. Hal ini berlaku dalam penulisan buku maupun artikel yang panjang. Sekitar dua pertiga waktu digunakan untuk membiarkan segala ide tertampung.

Menulis sebagai salah satu ketrampilan membaca mempunyai ciri khas yang berbeda. Berbeda dengan ketrampilan berbicara, yang isi suatu pembicaraan bisa dibantu dengan bahasa tubuh, seperti mimik muka maupun gerakan tangan. Dalam menulis, selain membutuhkan ketrampilan untuk menyampaikan inti masalah dengan tepat, juga dibutuhkan teknik penulisan yang menyesuaikan kaidah yang benar. Tidak lucu rasanya menuliskan “implikasi”, padahal yang dimaksud adalah “implementasi”. Dalam berbicara langsung, kesalahan dalam pembicaraan bisa langsung diralat ataupun langsung diingatkan oleh lawan bicaranya.

Pada jaman sekarang, saya merasakan untuk menghasilkan tulisan yang bisa dibaca banyak orang menjadi hal yang lebih mudah. Bermula dari membuat blog, kemudian menuliskan berbagai hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Dengan menggunakan nama diri, yaitu http://arsyadriyadi.blogspot.com, saya mencoba menuliskan tentang materi pelajaran diampu. Kemudian terus berkembang, untuk mengasah kemampuan berbahasa, saya juga menulis sebuah blog bahasa di http://arsyad-riyadi.blogspot.com. Melalui blog bahasa ini, saya melatih ketrampilan menulis naskah fiksi sekaligus belajar bahasa dan sastra Indonesia. Dari situlah saya mengenal dengan lebih dekat dengan puisi karya Chairil Anwar, bahkan sampai puisi esai Denny J.A, yang berjudul “Atas Nama Cinta”. Prinsipnya belajar sambil menuliskan di blog maupun sekedar menulis status di facebook.

Perkenalan dengan para pegiat sastra di Penamas (Para Penulis Muda Banyumas), semakin membuatku lebih termotivasi belajar bahasa melalui pembuatan antologi cerpen yang ditulis secara keroyokan. Pada akhir tahun 2011, terbit secara indie antologi cerpen pertama yang berjudul “Balada Seorang Lengger”. Pada tahun ini, awal bulan September 2012 terbit antologi kedua yang berjudul “Cindaga”. Salah satu yang menarik dari kedua antologi cerpen tersebut berada pada proses pembuatannya. Dengan melalui diskusi secara online di grup facebook, dengan para penulisnya melakukan posting cerpen di grup tersebut kemudian dikritisi oleh anggota yang lain. Dan uniknya, para anggota grup tersebut secara dunia nyata, belum tentu saling mengenal. Tetapi dengan bermodal kepercayaan, antologi tersebut berhasil dibuat.

Di sisi lain, dengan berani menulis cerpen untuk diterbitkan maka secara otomatis kemampuan berbahasa semakin meningkat. Proses pembelajaran berbahasa harus berjalan tersebut. Di samping untuk meningkatkan kualitas karya-karya selanjutnya, juga ada tanggung jawab untuk menuliskan sebuah karya yang memenuhi kaidah-kaidah penulisan. Tidak tanggung-tanggung, dalam acara launching kedua antologi tersebut mengundang para pegiat sastra di sekitar Banyumas, termasuk wartawan media cetak. Berbagai kritikan dan masukan dari para peserta termasuk pembedah kedua antologi tersebut, menjadi bekal agar dapat menghasilkan karya yang lebih bagus lagi.

Itulah salah satu aspek ketrampilan bahasa yang mampu menyatukan orang-orang yang berada pada posisi yang berbeda-beda dengan pemikiran-pemikiran yang beragam juga. Bukan sekedar celotehan status yang hilang begitu saja. Tetapi tulisan-tulisan yang dihasilkan bisa dibuka kembali baik melalui media blog bahkan sampai sebuah buku. Tetap semangat untuk menulis!

Sumber :
Dari penulis yang sama dan dengan judul yang sama. Sebelumnya dimuat di http://bahasa.kompasiana.com/2012/09/25/dari-menulis-status-hingga-menulis-buku/
Ditulis oleh: Arsyad R Bahasa dan Sastra Updated at : 5:04 PM
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...